Reformasi Moral ala Muhsin Hariyanto: Sombong adalah Sifat Iblis
BANTUL – Usai jama’ah shalat Dhuhur, Senin (8/11), Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar kajian bertema “Memahami Arti Penting Reformasi Moral”. Kajian ini disampaikan Ustadz Drs. Muhsin Hariyanto, M.Ag., dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMY.
Kegiatan yang dinamai Kajian Ba’da Dhuhur ini dibuka Muhsin dengan menyampaikan perihal tawaddu’ (rendah hati). “Tawaddu’ itu jangan berhenti sebagai sifat. Harus dilanjutkan menjadi sikap yang melekat pada diri orang Islam,” tuturnya. Dengan begitu, seseorang akan dengan mudah melakukan kebaikan tanpa lama berpikir.
Sikap ini dikatakan sudah melekat, bila memenuhi tiga ciri:
- Seseorang selalu merasa bahwa dirinya bukan yang terbaik, sehingga tidak ada kesombongan ketika berhadapan dengan orang lain;
- Seseorang tidak mudah meremehkan dan merendahkan orang lain;
- Seseorang terbuka menerima kritik, saran, maupun kebenaran yang dikatakan orang lain.
Adalah fenomena umum bahwa orang cenderung merasa paling benar sehingga dengan mudah merendahkan orang lain dan tidak mau menerima kritik. Sekarang banyak orang sombong karena merasa lebih pinter, merasa lebih kaya, merasa lebih berkuasa. Padahal semua itu datangnya dari Allah dan bisa diambil kapan pun tanpa permisi.
Ustadz Muhsin juga mengingatkan bahwa kesombongan adalah sifat iblis. Seperti ketika diciptakannya Adam as, iblis memprotes pada Allah SWT karena diminta bersujud pada Adam, “Saya ini diciptakan dari api, sedang dia diciptakan dari tanah.”
Berdasarkan asumsi Iblis, manusia dianggap lebih buruk karena diciptakan dari tanah. Oleh karenanya, ketika ada orang merasa lebih baik sehingga mudah melecahkan orang lain, bisa dikatakan itu seperti iblis.
Masuk membahas judul materinya, Muhsin mengatakan, “Kita jangan hanya membicarakan moralitas dalam berbangsa dan bernegara, itu terlalu jauh. Moralitas kita ketika berinteraksi dengan teman kita, sahabat kita, tetangga kita, orang tua kita, perlu kita perbaiki.”
Ia bercerita tentang salah satu karyawannya yang pada suatu saat bertanya padanya, “Kok saya belum pernah melihat Pak Muhsin marah. Resepnya apa?” Selama diamanahi memegang beberapa amanah di kampus seperti dekan atau kepala asrama mahasiswa, Muhsin mengaku tidak pernah marah.
“Marah itu menghabiskan energi,” ungkapnya.
Rasulullah SAW beberapa kali mengingatkan yang terekam dalam sebuah hadits, “La taghdob wa lakal Jannah.” Artinya, “Janganlah marah, maka bagimu surga.” Nabi SAW juga bersabda:
“Orang yang kuat bukanlah orang yang menang dalam perdebatan, perkelahian, ataupun pertempuran. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa, sanggup, dan mampu mengendalikan dirinya sendiri ketika ia sedang marah.” (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW tidak pernah terlihat marah. Tapi sebenarnya pernah marah, hanya saja itu terwujud dalam ketegasan-ketegasan dan ketangkasan beliau dalam mengatasi masalah. Semua tetap ditunjukkan dengan kata-kata lembut.
Dalam melakukan reformasi moral ini, audiens diajak merenungkan alasan penciptaan Rasulullah SAW ke dunia. “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak,” sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi. Manusia perlu didorong untuk menumbuhkan akhlakul karimah (baik) dan mengendalikan akhlak mazmumah (buruk).
Moralitas atau akhlak memiliki peran penting dalam kehidupan suatu bangsa. Eksistensi sebuah bangsa itu terletak pada akhlaknya. Mengutip pendapat Ahmad Syauqi, tokoh Mesir, Ustadz Muhsin mengatakan, “Kalau akhlaknya hancur, maka hancurlah bangsa itu.
Sebagaimana cerita-cerita dalam Al-Qur’an, banyak kaum yang hancur karena akhlak dan ketidaktaatannya pada Allah SWT. Abrahah, Fir’aun, dan Abu Lahab adalah beberapa tokoh yang perlu menjadi pembelajaran bagi manusia saat ini. Termasuk juga kaum Luth yang diberi azab berupa “gempa dahsyat”.
Muhsin juga mengingatkan dengan beberapa ayat lain seperti QS Al-A’raf ayat 96: “Dan jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Dosen FAI ini menyampaikan bahwa pengandaian dengan kata لَوْ (jikalau) ini merujuk pada hal yang nyaris tidak mungkin, tapi bisa jadi terjadi.
Selain itu, terdapat pula dalam QS Maryam ayat 59: “Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan salat dan mengikuti keinginannya (hawa nafsu), maka mereka kelak akan tersesat.” Dua hal ini yang juga menjadi faktor hancurnya bangsa.
“Hawa nafsu kalau diikuti malah cenderung deskruktif (merusak),” jelas Muhsin. Walaupun menjadi orang yang punya banyak harta dan berkuasa, termasuk sebagai manusia juga wajar mencintai orang lain, tapi hawa nafsunya harus dapat dikendalikan.
Kandungan QS Al-Anfal ayat 53-54 rupanya juga tepat untuk direnungkan. “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (53)
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fir’aun dan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan oleh dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; karena mereka adalah orang-orang yang zalim.” (54)
Sebagai penutup, Muhsin menyebutkan cita-cita negara dalam kalimat gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja. Maknanya sejalan dengan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur yaitu negeri yang baik yang dilimpahi ampunan Tuhan.
Untuk menuju kepada cita-cita itu, ia menyampaikan, “Dari kita, oleh kita, untuk kita. Mulailah dari dirimu sendiri sebelum kita mengajak orang lain untuk berubah.” (*)
Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow