Ridwan Furqoni Dukung Dakwah Inklusi ‘Aisyiyah untuk Jangkau Semua Kalangan
YOGYA – Dakwah inklusi menjadi dimensi baru dalam dunia dakwah Muhammadiyah. Istilah yang dipopulerkan oleh ‘Aisyiyah ini akan menjadi gerakan yang revolusioner dan mendorong perubahan. Selama ini dakwah secara umum diistilahkan dengan pengajian, padahal lebih dari itu dakwah adalah proses perubahan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY, Ridwan Furqoni, S.Pd.I., M.Pd.I, dalam paparannya di Talkshow Tasyakur Milad ‘Aisyiyah ke-107 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) DIY di Amphiteater Universitas Ahmad Dahlan, Kamis (23/5).
Dakwah inklusi, kata Ridwan, adalah istilah yang baru. Biasanya inklusi banyak didengar pada terma sekolah, yang berarti sekolah yang terbuka bagi setiap kalangan, termasuk pada kelompok berkebutuhan khusus.
“Tampaknya ini menjadi sesuatu yang baru jika aisyiyah ingin memopulerkan istilah ini, bahwa dakwah juga harus inklusif, terbuka untuk semua kalangan,” katanya.
Dakwah sendiri, lanjut Ridwan, secara umum dipahami sebagai pengajian, dalam Muhammadiyah, dakwah lebih dari sekadar pengajian. Dakwah itu didefinisikan sebagai mengubah satu kondisi dengan nilai yang rendah menuju kondisi dengan nilai yang tinggi berdasar ajaran islam.
“Misalnya kebodohan. Dakwah harus mengubah situasi yang sarat dengan kebodohan menjadi situasi keilmuan yang luas. Misalkan lagi akses yang rendah terhadap kesehatan menjadi akses yang tinggi. Keterbelakangan menjadi berkemajuan. Jadi dakwah ini tidak berhenti pada pengajian, tapi proses mengubah sesuatu,” jelasnya.
Proses dakwah muhammadiyah diawali dengan proses penyadaran. Kesadaran di sini adalah bahwa manusia itu hamba. Seorang hamba punya tugas untuk bertaqwa kepada Allah dan menjadi khalifah di bumi. Menjadi khalifah berarti menyadari bahwa salah satu tugasnya adalah bermanfaat dan berdampak kebaikan bagi orang lain.
“Kemudian dilanjutkan dengan pemberdayaan, pelayanan, perlindungan, hingga advokasi. Saya pikir semua ini sudah dijalankan Muhammadiyah. Pemberdayaan banyak dilakukan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Pelayanan, misal oleh Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS). Perlindungan, yang seharusnya menjadi tugas negara juga sudah Muhammadiyah lakukan. Hingga advokasi yang telah dilakukan di banyak persoalan,” terang Ridwan.
Lebih lanjut, Ridwan menegaskan bahwa dakwah inklusi itu bukan sekedar dakwah dengan audiens kelompok difabel. Inklusi itu, mnurutnya, pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda-beda. Dalam inklusifitas itu semua mendapat hak, akses, kenyamanan.
“Sehingga sekarang anak-anak difabel tidak harus dikumpulkan dalam sekolah luar biasa, namun tetap mendapat hak dan perlakuan yang adil,” ujarnya.
Dengan begitu, dakwah inklusi adalah dakwah yang bisa menjangkau siapa saja dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda-beda.
“ini kelihatannya sederhana lho. Tapi coba, di mana masjid yang punya juru bahasa isyarat? Yang saat jumatan, misalnya, para tunarungu bisa memahami khatib. Enggak banyak. Pernah menemukan TPA untuk untuk tunarungu? Saya menemukan satu-satunya dan baru, di masjid Haiban Hadjid PWM DIY,” tutur Ridwan.
Ridwan menerangkan bahwa dalam dakwah masih ada kelompok yang belum dijangkau. Menurut data dari dinas sosial kelompok yang memerlukan layanan sosial, sekaligus mereka yang belum dijangkau adalah: Korban kebencanaan, kemiskinan, kecacatan, ketunaan, keterlantaran, keterpencilan, dan korban tindak kekerasan.
“Nah kalau biasanya dalam dakwah kita kalau dimaknai hanya pengajian yang terjangkau hanyalah yang datang ke masjid. Lalu orang-orang yang dalam itu siapa yang menjangkau?” tanyanya.
Ridwan kemudian berharap bahwa ke depannya kebutuhan akan dakwah inklusi ini bisa dipahami dengan baik, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam dakwah Muhammadiyah-‘Aisyiyah sehingga mereka yang jarang dijangkau ikut merasakan dakwah.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow