Ikhwan Ahada: Muhammadiyah Hadir Bukan Untuk Memberangus Budaya

Ikhwan Ahada: Muhammadiyah Hadir Bukan Untuk Memberangus Budaya

Smallest Font
Largest Font

YOGYA - Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta, Dr. M. Ikhwan Ahada, M.A. menyatakan bahwa dalam sejarahnya Muhammadiyah hadir satu abad yang lalu bukan untuk memberangus atau menegasikan budaya.

Hal ini dsampaikan pada awal sambutannya di acara Musyawarah Pimpinan Wilayah (Musypimwil) Muhammadiyah DIY, Sabtu (11/11) di Aula Islamic Centre Universitas Ahmad Dahlan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Ikhwan menyebut penulis cum etnolog yang meneliti sejarah Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura. Dalam buku The Crescent Arises over The Banyan Tree, Nakamura menyebut bahwa Muhammadiyah sebegai gerakan ideologi, tidak menolak budaya Jawa, tetapi menyaring intisari dari ajaran Islam dari budaya Jawa. Pernyataan Nakamura kemudian ditebalkan lagi oleh cendekiawan lain, Ahmad Najib Burhani dalam buku Muhammadiyah Jawa.

Lebih lanjut, Ikhwan kemudian menyebut sosok Ahmad Dahlan, yang menurutnya adalah seorang kiai yang anti-maenstream dalam menerjemahkan dan memahami islam. Ahmad Dahlan, baginya, punya perbedaan dari kiai lain di zaman itu.

“Mulai dari cara beliau berpenampilan hingga cara beliau memahami islam, dan mengaplikasikan iman yang tentu ini membuat berbeda dari kiai yang lain,” jelasnya.  

Direktur SDI AIK RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta itu kemudian mengutip uraian Najib Burhani tentang gagasan utama Ahmad Dahlan mengenai akal. Dalam pidato yang berjudul “Tali pengikat Hidup”, Ahmad Dahlan menekankan bagaimana ia memposisikan akal pemikiran pada tiga tempat: Rasionalisme, Pragmatisme, dan Aktualisasi. 

Ketika Kiai Dahlan memahami islam sebagai sebuah rasionalisasi, kata Ikhwan, ini kembali kepada makna ijtihad dan tajdid. Ini tentang bagaimana kesungguhan beliau sekaligus bagaimana upaya pembaharuan yang beliau lakukan di tengah masyarakat termasuk sekolah dan cara berpikir memahami islam, sekaligus memahami bagaimana budaya itu ditempatkan pada tempatnya.

Terkait pragmatisme, Ikhwan menjelaskan bahwa Kiai Dahlan berupaya menjadikan islam fungsional. Islam itu hadir lebih dari solusi yang kemudian tidak ditinggalkan sebagai bentuk dokumen saja dan hanya dibuka pada saat tertentu. 

Kemudian makna aktualisasi, menurut Ikhwan adalah bagaimana mengaktualisasikan agama ini ke dalam perilaku hidup dan menjadikannya sebagai pedoman. Dan dalam Muhammadiyah sendiri telah dirumuskan PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah) sehingga bisa berjalan atas panduan-panduan yang jelas, terutama terkait budaya.

“Sehingga terkait budaya ini, selama tidak bertentangan dengan syariat dan aqidah serta tidak menjadi beban sosial. Maka kita paham dan tahu PHIWM telah memberikan panduan panduan yang jelas bagi kita,” tandasnya. (*)

 Wartawan: Fatan Asshidqi

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow