Khutbah Kebudayaan, Mustofa W. Hasyim Dorong Perubahan Pelaku Seni Budaya Muhammadiyah di DIY
YOGYA - Tak bisa dipungkiri bahwa Yogyakarta adalah kota dan daerah dengan kultur dan budayanya yang sangat kental. Namun, seiring berjalannya waktu, Yogyakarta perlahan meninggalkan predikatnya sebagai kota budaya dan pendidikan menjadi kota wisata. Hal ini juga tentu berpengaruh bagi kelangsungan kegiatan seni budaya di dalamnya.
Melihat hal ini, tentunya membuat Budayawan dan Sastrawan Senior Mustofa W. Hasyim untuk mengkaji secara mendalam mengenai perubahan peta seni budaya yang terjadi di DIY. Dalam Mimbar Kebudayaan Lembaga Seni Budaya (LSB) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY), pada Rabu (8 Jumadil Awwal 1445 H bertepatan 22 November 2023), Mustofa menyampaikan banyak hal menarik dalam sesi Khutbah Kebudayaan pada acara ini.
Seperti yang disampaikan mengenai perubahan predikat Kota Yogyakarta, kegiatan seni budaya di kampung - kampung lebih diorientasikan untuk melayani wisatawan. Kampung atau desa budaya dikondisikan untuk kompatibel dengan program pengembangan wisata. Ini juga didukung dengan penataan Kota Yogyakarta yang dimaksudkan agar wisatawan nyaman
Selain itu, dari segi event juga berubah. Dimana pernah ada Pekan Seni Yogyakarta yang kemudian berubah menjadi Festival Kesenian Yogyakarta dan 20 tahun setelahnya berubah lagi menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta.
Namun, Mustofa mempertanyakan keberadaan festival tersebut apakah ada perubahan dari segi tematik dan estetik serta pengaruhnya bagi masyarakat dan komunitas seni budaya di Yogyakarta. “Begitu juga dengan kegiatan semacam pekan seni khusus pelajar dan mahasiswa apakah ada perubahan kualitas estetik di dalamnya?” tanya Mustofa.
Selain event dan kegiatan, dari sisi visual simbolis, menurut Mustofa juga berubah. Seperti Alun-alun Utara ditutup untuk publik, ditutupnya gedung-gedung pertemuan dan pertunjukan kesenian, toko - toko buku, matinya media cetak harian dan mingguan yang jadi ladang subur sastrawan, hingga berkurangnya ruang publik untuk konser musik, menggambar mural, dan sebagainya. Beberapa faktor ini turut mengubah kehidupan seni budaya di Yogyakarta.
Meski begitu, untungnya masih ada spot - spot kantong budaya Muhammadiyah di tengah Kota Yogyakarta. Seperti di Kotagede, Ngampilan, Umbulharjo, dan Mantrijeron. “Muhammadiyahnya tebal dan para aktivis seni budaya yang cah Muhammadiyah juga tebal. Ketua PDM Kota Yogya yang sekarang (Aris Madani-red) juga dekat dengan lingkungan seni budaya,” ucap Mustofa.
Tetapi, yang menjadi tantangan, kenapa di Kauman dan Mergangsan nyaris tidak ada aktivis seni budaya dari Muhammadiyah? Padahal dekat Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, sehingga ini perlu dicari tahu lebih lanjut.
Tak hanya di Kota Yogyakarta, Mustofa juga menyoroti daerah-daerah lain. Mulai dari Gunungkidul dimana Wonosari yang jadi ibukota dalam kurun 20 tahun terakhir benar - benar berubah pesat menjadi kota yang modern. Ditambah dengan sederet lokasi wisata juga ikut andil dalam perubahan Gunungkidul.
Sementara di Bantul, terdapat beberapa tempat yang menjadi pusat kegiatan seni budaya masyarakat, seperti Lapangan Paseban, Kompleks Kantor Dinas, dan di Muhammadiyah ada Gedung Pertemuan PDM serta gedung-gedung lainnya yang mungkin bisa mendenyutkan seni budaya.
Kemudian di Sleman memiliki banyak sekali kampus dan jadi salah satu kawasan urban Kota Yogyakarta. Karena ada banyak mahasiswa dan pekerja yang tinggal di Sleman, turut mempengaruhi kehidupan seni budaya di daerah sebelah utara Kota Yogyakarta ini.
Terakhir, di Kulon Progo menurut Mustofa jejak Muhammadiyahnya sangat tebal, terutama di Galur, Temon, dan Wates. Uniknya, di Kulon Progo juga terdapat grup Ketoprak Muhammadiyah dan pernah mementaskan lakon KH. Ar Fachruddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1968-1990).
Setelah menelusuri jejak seni budaya daerah-daerah di atas, muncul satu pertanyaan yang sama: Di manakah spot - spot kantong budaya Muhammadiyah dari daerah - daerah tersebut?
Dari sini, untuk bisa mengembangkan seni budaya Muhammadiyah, Anggota LSB PWM DIY itu mendorong perubahan mindset warga Muhammadiyah, terutama para pelaku seni budaya. Perubahan yang dimaksud dari sisi mindset dari dakwah kultural biasa menjadi berkemajuan.
Menurutnya, kegiatan yang dijalankan harus berbasis kebutuhan riil masyarakat dan sesuai data etnografi masyarakat di masing - masing daerah. Maka, untuk mengetahuinya, diperlukan riset keinginan, kebutuhan dan potensi seni budaya dari masyarakat itu sendiri.
Pelaku seni budaya Muhammadiyah juga perlu mencari keseimbangan dalam menggarap karya tradisional dan modern, kalau perlu mengintegrasikannya dengan strategi transformasi seni budaya. “Di samping itu, cari narasi dan diksi yang nyambung dengan semangat kekinian anak muda dan kemantapan orang tua,” imbuh Mustofa.
Para pelaku seni budaya baiknya perlu akrab dengan teknologi informasi, dalam hal ini media sosial untuk memperlancar kerja - kerja kreatif bernuansa dakwah kultural berkemajuan. Warga Muhammadiyah di bidang seni budaya juga bisa memanfaatkan lini - lini industri kreatif (kuliner, kriya, fashion, iklan, fotografi, musik, film, animasi, desain, dsb) dan ini perlu disikapi secara proaktif dan reaktif untuk menjaga eksistensi potensi dakwah kultural berkemajuan sekaligus penetrasi pasar sebagai bagian dari fundraising.
Untuk bisa melakukan itu semua, perubahan di segala aspek sangatlah penting, terutama dari segi berpikir atau mindset. Dengan sadar perubahan, kita bisa mengenal diri sendiri dan tahu posisi di mana kita berada serta pada saat yang sama bisa mengetahui tantangan yang dihadapi, baik ringan atau berat.
“Perlu selalu dicanangkan, bahwa kita adalah pelaku dan pemenang perubahan. Kita bukan pecundang dan menjadi korban perubahan itu. Jadikan diri kita bukan saja sebagai faktor perubahan, tetapi sebagai aktor utama. Dari followers menjadi leader, loser menjadi winner, zero menjadi hero,” pungkas Mustofa menutup Khutbah Kebudayaannya. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow