ads
Ketua PWM Jateng isi Kajian Iktikaf AMM Piyungan, Uraikan Urgensi Budaya dalam Dakwah

Ketua PWM Jateng isi Kajian Iktikaf AMM Piyungan, Uraikan Urgensi Budaya dalam Dakwah

Smallest Font
Largest Font

BANTUL - Dalam mengisi amaliyah Ramadhan 1445 H serta menghadirkan dakwah yang mencerahkan dan menggembirakan, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Piyungan selenggarakan Kajian Iktikaf pada Selasa, (2/4) di Masjid Al-Kautsar, Bintaran Kulon, Piyungan. Pada kesempatan kali ini, kajian diisi langsung oleh Ketua PWM Jawa Tengah, Dr. K. H. Tafsir.

Dalam kajian yang dihadiri ratusan warga sekitar Piyungan ini, Tafsir memaparkan materi bertema "Budaya dalam Dakwah Islam".

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Tafsir membuka paparannya dengan menjelaskan iktikaf berkemajuan. Menurutnya, iktikaf yang merupakan amalan mujahadah harus diimbangi dengan amalan ijtihad dan jihad. Mujahadah disimbolkan dengan iktikaf, karena didalamnya terkandung kesungguhan untuk beribadah dan melawan nafsu. Ijtihad ia simbolkan dengan pemikiran intelektual. Sedangkan jihad adalah usaha-usaha menjalankan ibadah dan kebaikan.

"Berkemajuan itu ya terintegrasi tiga-tiganya. Enggak boleh itu hanya satu," jelasnya.

Tafsir kemudian menjelaskan bahwa budaya dan kultur masyarakat sudah mengakar dan bahkan bermanfaat bagi dakwah islam. Ia mencontohkan tentang bagaimana kultur dan budaya Indonesia menguatkan esensi bulan ramadhan.

"Di haditsnya, bulan Ramadhan itu disebut bulan penuh berkah. Tapi di Indonesia, bulan Ramadhan disebut bulan yang suci. Penyebutan ini adalah berkat budaya, dan ini justru menguatkan dakwah Islam, terutama tentang Ramadhan," paparnya.

Tak hanya itu, budaya masyarakat dalam bulan Ramadhan sudah amat megakar dan membaur dalam hidup masyarakat. Tak kalah penting, kata Tafsir, budaya itu mengandung nilai islam yang universal.

Misalnya, sebelum Ramadhan ada tradisi padusan. Tradisi ini jika diterjemahkan ke dalam fikih, adalah bentuk toharoh. Bentuk penyucian dalam mengarungi bulan suci.

Kemudian setelah bulan suci ada bulan Syawal, di mana dalam budaya Indonesia dikenal acara halal bi halal. Halal bi halal ini, kata tafsir, adalah contoh internalisasi budaya dalam keagamaan.

"Halal bi halal ini kan acara maaf-maafan, pembersihan dosa kepada sesama. Setelah satu bulan kita membersihkan diri di hadapan Allah, kemudian kita bersihkan diri di antara sesama. Uniknya, halal bi halal ini sudah mengakar, bahkan di kantor-kantor yang mungkin saja bosnya orang non-Islam tetap ada halal bi halal. Ini kan ajaran agama yang diterima semua, dan ini sangat berguna untuk dakwah Islam," tuturnya.

Kreatifitas budaya, menurut Tafsir, amat berguna untuk penguatan ideologi dan internalisasi agama islam dalam masyarakat. Ia memandang bahwa fungsi budaya setidaknya mampu membuat dakwah Islam mudah diterima masyarakat. Tak hanya itu, budaya juga membuat dakwah menyatu dengan masyarakat.

"Kreatifitas budaya ini harus kita pertahankan. Budaya tidak melulu tentang bid'ah. Maka Muhammadiyah sudah saatnya membuat dakwah yang berbudaya. Misalnya saja masalah keris. Keris itu alat budaya, jangan dilarang, tapi pengeramatannya yang dilarang. Yang kita hilangkan itu keramatnya, bukan kerisnya" katanya.

"Pemurnian islam itu bukan menghilangkan budaya, tapi menghilangkan TBC (Tahayyul Bidah Churafat) dalam budaya. Itulah dakwah yang berbudaya, yang berkemajuan," tandasnya.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow