Bisa Masuk 'Hotel' Paling Dingin, Kader NA yang Berpolitik Wajib Baca Ini!
YOGYA - Saat ini, semua orang bisa menyuarakan aspirasinya atau berkiprah di jalur politik, termasuk perempuan.
Apalagi, berbagai aturan dan regulasi terkait keterwakilan perempuan di berbagai lembaga sudah membuka peluang untuk itu. Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan dan dipersiapkan jika ingin terjun ke dunia politik bagi perempuan, terutama dari Nasyiatul 'Aisyiyah.
Inilah yang dibahas dalam Talkshow Kebangsaan Perempuan Muda Berkemajuan oleh Pimpinan Wilayah Nasyiatul 'Aisyiyah (PWNA) D.I. Yogyakarta, hari Sabtu (23/12) di Gedung DPD RI DIY.
Di talkshow ini, para kader NA DIY berdialog bersama dua narasumber, yaitu Anggota DPD RI Drs. M. Afnan Hadikusumo dan Komisioner KPAI Diyah Puspitarini, M.Pd.
Pada kesempatan ini, Afnan kepada segenap kader NA DIY -dan seluruh kader Muhammadiyah mengingatkan bahwa sebelum terjun ke politik, basis niat dan akhlak harus diperkuat.
"Kalau itu bisa diperkuat, maka hasilnya akan apik dan nantinya tidak akan masuk 'hotel' paling dingin," ujarnya.
Terkait perempuan di politik, Afnan bercerita jika di zaman Orde Baru, kelompok perempuan banyak disingkirkan. Alhasil, tidak ada kebijakan khusus perempuan saat itu.
Pada masa sekarang, pemilih laki-laki dan perempuan jumlahnya kurang lebih sama. Bahkan pemilih perempuan bisa lebih banyak lagi.
Namun, persoalannya dalam jabatan publik masih banyak laki-laki. Maka, diputuskan kebijakan afirmatif, yakni dalam posisi-posisi di lembaga yang sekiranya tidak perlu pemilihan, persentase-nya harus 30 persen.
Tapi untuk pemilihan di legislatif masih kesulitan, meskipun ada kebijakan 30 persen keterwakilan perempuan.
Beberapa faktor penyebab kesulitan perempuan berkiprah di politik. Mulai dari tidak adanya kekompakan dari perwakilan perempuan itu sendiri, masalah pembagian waktu, fisiknya tidak memungkinkan dibanding laki-laki, masih ada kewajiban mengurus anak, hingga emosinya terkadang di saat tertentu bisa labil.
Padahal kalau me-review ke belakang, banyak tokoh-tokoh 'Aisyiyah yang luar biasa di kancah politik. Seperti Siti Hayinah dan Siti Munjiyah yang terlibat di Kongres Perempuan Pertama, tanggal 22 Desember 1928.
"Lalu ada Siti Badilah Zuber, ketika di hadapan tokoh perempuan yang pendidikannya sekuler, justru tidak gentar. Ketika ditanya sekolah, ia menjawab AMS atau Aisyiyah Maghribi School Suronatan," papar Afnan.
Kiprah luar biasa tokoh-tokoh Aisyiyah ini tentunya harus diwarisi. Terlebih NA sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna harus mewarisi hal itu. Maka, jika kader NA ingin terjun ke politik, ada tiga modal yang harus disiapkan.
"(Yaitu) niat, jaringan, dan akhlak. Itu modal yang penting, supaya bisa mengembangkan diri tidak hanya di Amal Usaha Muhammadiyah tetapi juga bisa di tempat lain, bahkan bisa membantu Muhammadiyah. Maka, jadilah komisioner, anggota dewan, tapi kembali ke Muhammadiyah," jelas Afnan.
Sama halnya dengan Afnan, Diyah Puspitarini menekankan jika akhlak memang harus tetap ada, dalam arti punya prinsip yang baik saat berkiprah di manapun, termasuk politik.
Menurutnya juga, dengan kader NA berdiaspora di lembaga pemerintahan atau politik, sama halnya dengan memperjuangkan Marwah Muhammadiyah. Apalagi, Muhammadiyah itu 'yatim piatu' dalam politik, artinya kiprahnya masih sedikit jika dibandingkan dengan kubu 'tetangga sebelah'.
"Kalau ini dibiarkan, jangan salahkan kalau Muhammadiyah tidak bisa mendapatkan apapun. Kalau tidak ada orang Muhammadiyah (di politik), kita tidak bisa menyampaikan aspirasinya," tegas Diyah.
Kiprah perpolitikan yang bisa ditempuh tidak hanya di legislatif. Lembaga lainnya macam KPU, Bawaslu, Ombudsman, Dewan Pendidikan, dan sebagainya bisa diisi. Kalau lembaga-lembaga tersebut bisa diisi Muhammadiyah, hasilnya akan luar biasa.
Kepada PWNA DIY, ia memberi saran untuk mendata kader berpotensi di mana. Sehingga, ketika pendaftaran sudah siap karena punya peta untuk diaspora kader.
"Jadi, sudah harus ada mindset jangan terjebak di internal saja, harus ada yang berpikir ke eksternal. Kalau semuanya di dalam, terus yang di luar siapa?" tanya Diyah.
Untuk itu, PWNA DIY harus jadi pelopor dan jadi trendsetter NA se-Indonesia. Selagi periode masih baru, harus dipersiapkan untuk lima tahun ke depan. "Saya menunggu betul kiprah teman-teman dan informasi yang baik. Teman-teman di DIY (harus) siap berdiaspora," pungkas Ketua Umum PPNA periode 2016-2022 itu.
Pesan lainnya juga disampaikan Ketua Umum PWNA DIY Syahdara Anisa Makruf, M.Pd.I., yaitu kader NA tidak boleh berhenti belajar, Terlepas dari apapun statusnya menjadi sebagai guru atau pendidik, ia meminta agar jangan sampai terjebak dengan ranah administrasi yang terkadang bisa menghambat potensinya.
"Justru dengan kita menjadi seorang pendidik kita memiliki kewajiban, tidak hanya mendidik secara formal di sekolah tetapi kita juga terpanggil untuk mendidik masyarakat," kata Syahdara.
Mendidik masyarakat juga bukan perkara mudah. Dibutuhkan jam terbang, softskill, dan jaringan silaturahmi. Terkait silaturahmi, tidak hanya di internal saja, di berbagai pihak eksternal juga penting. Sekalipun di berbagai latar belakang, entah dari partai politik, organisasi, dan lain-lain.
"Selama memiliki perjuangan untuk mendidik masyarakat maka kita harus secara Komprehensif juga untuk sama-sama mendidik masyarakat," tandas Dosen Universitas Islam Indonesia itu. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow