Gelar DAM, PC IMM Djazman Al-Kindi Usung Tema 'Fresh Ijtihad'
YOGYA - Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta menyelenggarakan Darul Arqam Madya dengan resmi dibuka pada Rabu (22/5) di Aula Islamic Center Kampus 4 UAD. Tema DAM yang diusung tahun ini adalah “Fresh Ijtihad: Reposisi Gerakan Intelektual Islam Progresif”.
Diikuti 31 peserta, baik dari dalam dan luar DIY, semuanya dengan khidmat mengikuti pembukaan dari awal sampai akhir agenda.
Pada kesempatan ini, Aris Madani, S.Pd.I., Ketua Pimpinan Daerah Kota Yogyakarta berpesan kepada seluruh peserta DAM untuk memanfaatkan kesempatan dalam setiap forum dengan sebaik mungkin. *Mulai dari memperhatikan pemaparan materi dan berdiskusi niatkan betul-betul untuk menggali wawasan secara mendalam," ucapnya.
Mohammad Haidar Albana, S.Ikom. selaku Ketua Umum PC IMM Djazman Al-Kindi Kota Yogyakarta, mengatakan kalau Darul Arqom Madya ini adalah naik kelas kader IMM menuju kaderisasi jenjang yang lebih tinggi.
"Menjadi kader Madya adalah sebuah pengabdian intelektual dan tenaga dalam mengurusi IMM kedepannya agar lebih baik dan hebat," ujarnya.
Lalu secara subtantif, PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta mengangkat tema Fresh Ijtihad Reposisi Gerakan Intelektual Islam progresif adalah sebagai rekonstruksi pemikiran keislaman kader IMM Djazman terkhususnya dan IMM pada umumnya agar menjadikan Islam sebagai alat perubahan sosial dalam membangun peradaban semesta dan kemanusiaan.
Pembukaan DAM juga dihadiri oleh Drs. M. Afnan Hadikusumo, Anggota DPD RI. Beliau menyatakan bahwa tema yang diangkat dalam dam ini sangat bagus dan baik. Karena memang mahasiswa harus perlu memerlukan ijtihad agar bisa memandang Islam lebih luas dan progresif dalam menjawab tantangan zaman.
"Maka saya bangga melihat kader IMM terkait belajar dan berkarya, agar kedepannya bisa menjadi penerus kepemimpinan umat dan Muhammadiyah di masa depan," kata Afnan.
Memasuki studium generale yang menghadirkan Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U. sebagai narasumber, ia memulai pembahasan dengan menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak dapat ditafsirkan secara mutlak dan tunggal.
Menurutnya, umat Islam tidak boleh berhenti berpikir karena dunia Islam harus terus menerus survive di tengah perubahan jaman. Contoh dari penafsiran Al-Qur’an secara tunggal adalah terjadinya fenomena demo besar besaran pada tahun 2016. Saat itu umat Islam justru membuat Tuhan yang seharusnya bersifat ghaib menjadi bersifat “kamanungsan”.
Tentu ada banyak pendapat yang berbeda pada saat itu. Prof. Munir juga menyertakan beberapa contoh lain seperti persoalan memajukan waktu adzan dan fungsi sosial ekonomi dari ibadah qurban.
Beliau juga menyayangkan bagaimana Agama menjadi terlembaga. Banyak ulama hebat dan cerdas tetapi tidak berani tampil beda. Tentunya pendapat tersebut juga merujuk pada ulama organisasi Muhammadiyah yang organisatoris.
Prof. Munir melanjutkan penjelasannya terkait bagaimana menjadi progresif, Pendekatan Irfani yang digunakan harus memiliki objektifitas universal dengan indikator kemanusiaan universal. Penjelasan yang tidak kalah penting adalah bagaimana berfikir secara lateral.
"Intuisi bukanlah sekedar mimpi karena menggunakan otak untuk berfikir. Kita harus mengikuti logika dan jangan berhenti karena doktrin," jelasnya.
Di sela-sela menyampaikan bagaimana menjadi progresif, Prof. Munir menyampaikan pemikirannya terkait “Berbagi kapling surga”. Pemikiran beliau yang dianggap sensasional itu mendapat anyak kecaman. Pasalnya beliau berpendapat bahwa kita harus berkerja sama dengan umat agama lain untuk mencapai surga.
"Sehingga kita tidak dapat mengklaim bahwa surga hanyalah milik umat Islam sendiri agar dapat terlaksananya kerjasama kemanusiaan. Kembali pada pembahasan bagaimana menjadi progresif," ujar Prof. Munir.
Beliau mengajak peserta untuk membaca pemikiran Daniel Golmen dan Danah Zohar terkait kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional dilakukan dengan menahan nafsu sehingga kita dapat bersedia untuk berbagi.
Sedangkan kecerdasan spiritual harus dipahami bukan hanya sekedar “agama” karena kita harus berfikir unitif. Dalam hal ini artinya berfikir semesta atau semua hal didunia ini saling berkesinambungan.
Pada akhir penyampaian materi Prof. Munir menekankan bahwa Islam harus berfungsi atau bersifat “fungsional”. Memasuki sesi tanya jawab, beliau menjelaskan kepada peserta yang bertanya terkait keadaan sosial yang justru tidak mampu menghadapi beragai ijtihad yang dihadirkan di hadapan manusia.
Konteks sosial menolak ijtihad karena metode aru menggantikan metode lama. Tidak ada kesiapan personal dan kolektif yang mampu menghadapi Ijtihad yang diadirkan. Maka sikap kita seharusnya adalah berani. Beliau menjelaskan bahwa Nabi lahir sebagai kontradiktor. Para penemu adalah orang yang dianggap gila dan dunia akan diubah oleh mereka yang genial dan mampu berfikir jauh melampaui jaman.
Prof. Munir mengapresiasi Muhammadiyah karena mendomistikasi Islam. Karena dahulu Islam adalah hal mistik yang hanya dimiliki sebagian orang. Orang-orang tertentu yang memiliki kemistikan Islam lantas memperjual belikannya.
"Muhammadiyah berhasil menjadikan Islam dimiliki siapapun. Beliau juga berpesan apabila penjelasan beliau mengganggu keimanan maka cukuplah untuk dilupakan saja dan ambil yang menurut kita baik," tandasnya.
Setelah pembukaan, peserta DAM menuju Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial Yogyakarta untuk mengikuti serangkaian kegiatan DAM selama lima hari kedepan.
Penulis: Luluk Latifah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow