Dakwah Komunitas untuk Pegiat Media Sosial di Era Disrupsi

Dakwah Komunitas untuk Pegiat Media Sosial di Era Disrupsi

Smallest Font
Largest Font

Robby H. Abror*

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Istilah Industri 4.0 muncul sejak 2011 dalam sebuah diskusi di Hannover Fair, Jerman untuk menggambarkan realitas revolusi industri keempat yang dapat menciptakan perubahan luar biasa dan cepat dalam bidang teknologi global yang saling terhubung dan saling menguntungkan sebagaimana dipaparkan oleh Klaus Schwab, seorang pengamat ekonomi Jerman dalam bukunya yang berjudul The Fourth Industrial Revolution (2016). Ia memperkenalkan pandangan baru tentang apa yang sekarang kita kenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0 dengan menegaskan bahwa hari ini kita telah menyaksikan terjadinya apa yang disebutnya sebagai a transformation of humankind, yakni bahwa revolusi secara fundamental mengubah cara kita hidup, bekerja dan berhubungan dengan orang lain.

Revolusi industri telah mengubah hidup dan cara kerja kita sehingga kita perlu menyadari bahwa teknologi dan digitalisasi akan merevolusi segalanya. Hari ini kita dapat menyaksikan dan merasakan bersama manfaat dan tantangannya. Dengan fenomena kehidupan yang demikian itu, perubahan bergerak cepat dan mengubah segalanya, termasuk diri kita sendiri sehingga sekarang kita juga harus siap menghadapinya. Kenyataannya bahwa setiap pemain industri hari ini membuka tangannya dan berkolaborasi dengan siapa pun untuk melebarkan pasar dan sayap bisnisnya guna mendapatkan hasil semaksimal mungkin. Maka setiap pelaku usaha hari ini ditantang untuk membangun program kreatif yang dapat mengakomodir kebutuhan pasar dengan perubahan karakter yang terus-menerus.

Era revolusi industi 4.0 atau disebut juga dengan era disrupsi teknologi ditandai dengan terjadinya transformasi di berbagai bidang. Revolusi ini berkat inovasi disruptif yang menghadirkan paradigma baru, yakni perubahan cepat dalam mengubah atau menggeser tatanan yang lama. Jadi era disrupsi ini sebenarnya menginisiasi lahirnya paradigma baru dalam dunia usaha menjadi lebih inovatif yang tampak pada terjadinya proses digitalisasi sistem inovasi menggunakan aplikasi teknologi. Digitalisasi ini juga terjadi di mana-mana, di kelas, pabrik, ruang publik, dan sebagainya. Kita perlu melihat realitas ini dengan bijak, bahwa kemajuan tidak selamanya membawa kebaikan, seringkali juga melahirkan paradoks yakni munculnya sisi destruktif seperti kejahatan siber. Kita lebih mudah mendapatkan informasi, sesungguhnya perlu disadari bahwa kita juga bagian dari informasi. Kita butuh data, tapi ingat kita bisa jadi data. Maka data diri kita dapat diakses dan dikomodifikasi oleh orang lain untuk kepentingan bisnis perdagangan media sosial ataupun kejahatan siber.

Pada era disrupsi teknologi ini, dominasi robot atau mesin akan menggantikan peran manusia cepat atau lambat. Mesin bisa menggantikan manusia dalam berbagai aspek, dari pekerja pabrik, penjaga jalan tol, bahkan juga beberapa profesi akan tergantikan seperti guru/dosen, dokter, arsitek/insinyur, dan sebagainya. Orang dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dengan kartu atau menyentuh layar monitor komputer, laptop atau smartphonenya. Sehingga boleh jadi nanti peran guru/dosen hanya sebagai pembimbing agama atau budaya yang menjaga etika atau nilai-nilai tetap lestari. Realitasnya sekarang telah terjadi revolusi peran dalam berbagai bidang kehidupan.

Era disrupsi sarat inovasi, maka sering disebut pula inovasi disrupsi yang dapat diterjemahkan sebagai “inovasi baru yang menggangu dan mengacaukan.” Kehadiran teknologi informasi yang terbaru dan canggih, katakanlah sampai hari ini, karena mampu di antaranya menyediakan teknologi yang menjamin dan memberi kemudahan serta harga murah, dan ini sangat berseberangan dan bertentangan dengan teknologi lama. Motor, mobil dan handphone sebenarnya sudah merupakan bentuk dari inovasi teknologi, tetapi tanpa inovasi disrupsi, maka ia masing-masing berdiri sendiri dan itu masih dibilang teknologi lama. Teknologi baru memungkinkan lahirnya kemudahan dalam ranah bisnis, setiap entitas itu saling berhubungan dan kelebihan inovasi disrupsi ialah mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas melalui efisiensi sehingga diharapkan kualitas dan kuantitas meningkat. Tentu saja realitas ini memacu persaingan dunia usaha dan tidak jarang terjadi ketegangan antara pelaku usaha lama dengan “pendatang baru” yang lebih inovatif ini.

Literasi Baru untuk Dakwah Komunitas

Era inovasi disrupsi erat kaitannya dengan dunia digital dan generasi internet atau disebut juga Generasi Milenial atau Generasi Y—ini adalah generasi ketiga setelah Generasi Baby Boom, Generasi X dan sesudahnya generasi keempat yaitu Generasi Mendatang (Generation Next) seperti dipaparkan Don Tapscott dalam Grown up Digital: How the Net Generation is Changing your World (2009). Ia juga mengidentifikasi beberapa karakteristik generasi internet (Net Gen), di antaranya ialah bahwa mereka ingin kebebasan memilih dan berekspresi, senang membuat sesuatu sesuai selera, bebas membeli, butuh hiburan dan permainan, mengandalkan relasi dan kolaborasi, butuh kecepatan komunikasi dan bisa menjadi inovator. Hari ini Generasi Internet dapat menciptakan masa depan mereka sendiri dan mengubah dunia.

Net Gen atau Gen Y atau Gen M ini adalah generasi yang tidak bisa lepas dari internet, bisa jadi sudah tersandera. Hidup dengan internet itu seperti hidup sebagai kebutuhan atau ketagihan. Hidup paling narsis sepanjang sejarah, paling banyak gaya, paling banyak inovasi. Kita berada dalam generasi ini dan menyaksikan sendiri betapa derasnya arus informasi itu berlangsung setiap detik. Telah terjadi tsunami informasi, sehingga setiap orang hari ini harus berhadapan dengan gunung emas  sekaligus sampah informasi. Setiap orang bisa menjadi aktor intelektual, produsen atau pun konsumen, baik bagi perubahan yang haq maupun sebagai berita hoax.

Sehingga menurut hemat saya, kita perlu melakukan semacam rekayasa literasi. Rekayasa dalam artian positif yakni langkah ijtihad untuk merancangbangun pola literasi yang baru dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 ini. Jika dipahami bahwa literasi lama itu adalah kegiatan membaca, menulis dan berhitung, maka paradigma baru yang kita butuhkan ialah literasi baru dengan 3 langkah, yakni: pertama, literasi data seperti kemampuan komprehensif sekaligus yaitu membaca, menganalisis dan mengeskplorasi informasi (big data) di dunia digital, kedua, perlu juga memahami dan menguasai aplikasi on line dan desain komunikasi modern dalam literasi teknologi, dan ketiga tidak kalah pentingnya yaitu literasi iman, bahwa setiap orang hari ini harus mampu bangkit dan keluar dari krisis kemanusiaan dan potret buram dekadensi moral yang hampir terjadi merata di segala usia, dengan cara meneguhkan kembali kesadaran moral-spiritual dalam menjaga nilai-nilai keagamaan, etika Islam, dan tujuan hidup ini semata-mata untuk bekhidmat kepada umat manusia dan memperoleh ridho Allah SWT.

Setelah memperhatikan inovasi disrupsi yang masif, kita dapat mengukur literasi baru yang diajukan untuk menjawab kebutuhan dakwah komunitas. Dakwah berbasis komunitas yang dirumuskan oleh Muhammadiyah ini berkaitan dengan konsep gerakan jamaah dan dakwah jamaah (GJDJ) yang mengaksentuasikan pada pendekatan kultural yang selama ini dianggap relevan sebagai solusi atas dakwah Muhammadiyah yang dinilai kering dalam ranah estetika seni dan kebudayaan, selain itu tantangan virtual di era digital ini juga perlu diantisipasi dan dicarikan solusinya.

Komunitas dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan” ini dibentuk oleh visi, misi dan ketertarikan yang sama atas sebuah gagasan. Setiap orang dapat bersepakat dengan orang lain untuk menciptakan komunitas tertentu yang mereka suka. Ada komunitas otomotif, motor gede (moge), jilbaber, komunitas sepeda, komunitas literasi, dan sebagainya.

Komunitas sebagai potensi aktual, dan individu sebagai potensi kreatif. Setiap anggota komunitas dapat bersinergi dalam banyak kegiatan amal atau kegiatan kemanusiaan atau sekadar menghabiskan waktu untuk hiburan dan menjalin persahabatan. Lepas dari itu semua, yang jelas mereka punya ikatan yang sama dan beraktivitas dengan menyenangkan. Melihat menjamurnya aktivitas ini, Muhammadiyah dapat berperan aktif dalam ikut serta menyapa dan merawat jamaahnya sekaligus memajukan gerakan komunitas secara produktif.

Karena fokus tulisan ini pada upaya dakwah komunitas untuk pegiat media sosial, maka setidaknya komitmen Muhammadiyah dalam menggelorakan dakwah komunitas di ranah medsos ini patut mendapat perhatian serius. Dalam komunitas literasi, warga Muhammadiyah dapat membuat taman baca, perpustakaan keliling, dan menghidupkan gairah membaca di mana pun dan bisa mengajak masyarakat secara luas.

Langkah berikutnya, menggairahkan tradisi menulis, sehingga sambil berkumpul dalam sebuah komunitas, warga persyarikatan tetap dapat menuangkan gagasan dalam sebuah tulisan tentang gerakan atau pun aktivitas apa saja yang selama ini, sedang atau akan dilakukan. Tulisan itu bisa berupa feature, opini, puisi, sajak, syair, prosa ataupun cerpen. Saat ini kita patut bangga bisa melihat lahirnya karya-karya novel yang sangat bagus yang ditulis oleh anggota atau simpatisan Muhammadiyah bahkan sebagiannya sudah bisa difilmkan, seperti Sang Pencerah (2008), Laskar Pelagi (2008), Nyai Ahmad Dahlan (2017), Si Anak Kampoeng (2011), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015), dan lain-lain.

Aktivitas menulis buku atau novel adalah bagian dari literasi individu, seringkali bersifat personal, dan sebagian berbentuk kumpulan esai atau kompilasi. Jika diaktualisasikan secara inovatif disruptif, maka dapat melahirkan karya lain seperti drama religi, sinetron atau pun film, diputar di bioskop, diakses lebih banyak orang yang di antaranya karena alasan lebih memilih aktivitas visual yakni melihat atau menonton daripada membaca buku. Setelah beberapa saat akan dijual dalam bentuk VCD/DVD atau biasanya diupload di internet atau aplikasi film dan bisa didownload secara gratis atau dengan cara membeli.

Melalui dakwah berbasis komunitas, diharapkan Muhammadiyah bisa menjadi tenda kultural yang mau dan mampu menghimpun banyak komunitas beragam dari berbagai perkumpulan. MPI PWM DIY awal 2018 telah membuat dan mengelola www.mediamu.com sebagai situs resmi PWM DIY. Sebagai salah satu sarana dakwah, website bisa menjadi media dakwah yang baik, bisa diakses 24 jam, setiap orang dapat membaca berita tentang Muhammadiyah di wilayah DIY. Selain itu juga mengupload beberapa buku terbitan Muhammadiyah dalam aplikasi i-jogja bekerjasama Perpustakaan Daerah.

Jadi yang perlu dilakukan adalah mengkonstruksi identitas Muhammadiyah di jagadmaya dengan melibatkan banyak komunitas. Karena komunitas itu terdiri dari individu-individu kreatif, maka setiap individu didorong untuk dapat memaksimalkan dan mengaktualkan potensi kreatifnya dalam bentuk karya. Orang-orang yang ikhlas berkarya pasti akan meluangkan waktunya, ide/gagasannya dan mungkin juga harta bendanya—untuk hasil atau produk pemikiran yang lebih baik. Dengan terus berkarya—bisa melalui gerakan #3W (Wakaf Ilmu-Pengetahuan-Pemikiran, Wakaf Waktu dan Wakaf Kepemilikan), eksistensi komunitas akan selalu terjaga, pesan-pesan moralnya menjadi saham kebaikan yang dapat dibaca oleh orang lain dan memungkinkan bagi komunitas lainnya untuk melakukan interaksi yang lebih produktif dan berkemajuan.

Setiap aktivis (Muhammadiyah) adalah jurnalis.
Setiap aktivis medsos (Muhammadiyah) adalah da’i.
Setiap aktivis komunitas (Muhammadiyah) adalah produsen makna.


[1] Disampaikan pada Pengajian Ramadhan 1439 H yang diselenggarkan oleh PMW DIY dengan tema: “Menyemai Dakwah Komunitas untuk Islam Berkemajuan” di Auditorium lt. 1 UAD Kampus 4 pada Sabtu, 2 Juni 2018.
[2] Ketua MPI (Majelis Pustaka dan Informasi) PWM DIY 2015-2020 (087-839-792-629).

 

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow