Webinar AMM Ngaglik: Muhammadiyah Respon Teror dengan Adab

Webinar AMM Ngaglik: Muhammadiyah Respon Teror dengan Adab

Smallest Font
Largest Font

SLEMAN – Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Kapanewon Ngaglik, Sleman, menyelenggarakan Webinar bertajuk “Diteror, Apa Sikap Muhammadiyah?” pada Rabu (11/5). Dipandu oleh Wakil Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Ngaglik Ari Wibowo, S.H.I., S.H., M.H., sebagai moderator, webinar menghadirkan Ketua PP Muhammadiyah Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. sebagai keynote speaker dan Ketua Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum yang menjadi narasumber.

Sebagaimana diketahui, belakangan ini kerap muncul teror terhadap warga Muhammadiyah, salah satunya berkaitan dengan perbedaan penetapan 1 Syawal 1444 H. Padahal, perbedaan soal ini sudah dianggap biasa dan bisa dimaklumi karena adanya perbedaan metode yang digunakan.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Beberapa bentuk teror yang terjadi beragam, mulai dari penurunan spanduk pengumuman Shalat ‘Id, larangan penggunaan fasilitas publik untuk penyelenggaraan Shalat ‘Id, hingga pernyataan oknum yang bersifat provokatif. Puncaknya, adalah pada Lebaran waktu yang lalu, dimana seorang oknum peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengancam membunuh warga Muhammadiyah melalui komentarnya di media sosial.

Benar saja, warga Muhammadiyah di berbagai daerah merasa geram dan beramai-ramai melaporkannya ke pihak berwajib dan sebagian lainnya meluapkan amarahnya melalui komentar-komentar keras di media sosial. 

Dalam paparannya, Busyro Muqoddas menyampaikan fenomena terorisme sisi historis dan yuridis. Secara historis, istilah terorisme di Indonesia mulai dikenal sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002, setelah itu banyak terjadi kasus-kasus serupa di berbagai tempat. Ironisnya, sudah lebih dari 20 tahun berlalu tetapi pemerintah belum bisa menyelesaikannya dan terkait hal ini, Busyro mengemukakan kritik terhadap cara aparat dalam penanggulangan terorisme.

“Cara pemberantasan terorisme cenderung dengan kekerasan, banyak terduga yang ditembak mati sehingga tidak dapat dibuktikan benar tidaknya sebagai teroris,” ujarnya.

Di masa Orde Baru, terorisme dilakukan oleh aparat negara yang lazim disebut state terrorism. Saat itu Gerakan terorisme dilakukan oleh Komando Jihad yang sesungguhnya aktor intelektualnya adalah aparat intel dengan tujuan politik. “Karena tujuannya politik, maka menjelang Pemilu 2026 kemungkinan akan muncul kembali,” lanjut Mantan Ketua KPK tersebut.

Ini terbukti dengan beberapa kali aktivis persyarikatan pernah ditangkap lantaran dituduh sebagai teroris, kemudian Muhammadiyah selalu melakukan advokasi dan ternyata tuduhan itu tidak terbukti.

Dalam isu terorisme Islam dan umat Islam diposisikan secara diskriminatif. Sementara terkait dengan teror yang dilakukan oknum peneliti BRIN, M. Busyro Muqoddas menilai pelakunya dapat dikenakan UU Terorisme karena ada unsur maksud menimbulkan suasana teror. “Cara Muhammadiyah merespons harus mencerminkan Gerakan yang penuh adab namun tetap kritis,” tutup Busyro.

Lalu beranjak ke bahasan berikutnya, Trisno Raharjo berpandangan bahwa sebagai peneliti BRIN, komentar Prof. Thomas Djamaludin (TD) soal Muhammadiyah yang menurutnya tidak taat pemerintah, melalui media sosial tidak bijak.

“Perbedaan penentuan 1 Syawal seolah seperti yang pertama, padahal sudah lama terjadi dan biasa saja,” ujarnya.

Komentar TD itulah yang memicu komentar keras Andi Pangeran Hasanuddin (APH). Dari beberapa laporan warga Muhammadiyah di berbagai daerah kemudian disatukan di Bareskrim Polri. “Sampai saat ini baru APH yang diproses,” lanjutnya.

PP Muhammadiyah juga berkirim surat kepada BRIN meminta agar dilakukan pemeriksaan etik kepada TD dan APH. Sampai saat ini yang sudah diproses baru APH, sementara TD belum tersentuh sama sekali. Pada prinsipnya, Muhammadiyah memaafkan tetapi proses hukum tetap harus jalan sampai putusan pengadilan. Adapun soal gangguan kejiwaan yang diduga dialami APH, tidak bisa menjadi alasan kasus tidak dilanjutkan. Biarkan nanti dibuktikan di pengadilan.

Sebagai penutup, AMM Ngaglik menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Terjadinya teror terhadap warga Muhammadiyah menunjukkan penurunan (regresi) demokratisasi di Era Presiden Jokowi.
  2. Proses hukum kasus teror terhadap warga Muhammadiyah yang telah menetapkan APH sebagai tersangka harus dilanjutkan sampai pemeriksaan di pengadilan meskipun ada dugaan gangguan jiwa yang diidapnya.
  3. BRIN hendaknya membentuk Komite Etik yang beranggotakan orang-orang yang sudah teruji independensi dan integritasnya untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap TD dan APH.
  4. BRIN dan bareskrim agar melakukan pemeriksaan kepada TD karena komentarnya yang memicu terjadinya teror terhadap warga Muhammadiyah.
  5. BRIN hendaknya tidak menunjuk TD sebagai ketua pembuatan kalender Islam nasional karena sudah bermasalah secara etik.

(*)


Berita ini diterima mediamu.com dari AMM Ngaglik

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow