RGK PCA Kraton: Hadapi Kebiasaan Baru Pribadi Harus Tangguh
YOGYA – Perhatian ‘Aisyiyah kepada pendidikan anak usia dini antara lain dibuktikan dengan program Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA). Program ini kemudian dikembangkan oleh Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Kraton dengan nama Rumah GACA Kraton (RGK). Ahad (10/10), RGK mengadakan kegiatan Sharing Pendampingan Anak bagi para orang tua dan relawan.
Sekitar 20 peserta hadir dan bergabung mengikuti kegiatan yang dimulai pada pukul 09.00 WIB tersebut. Meski peserta kebanyakan orang tua, namun hadir pula dua remaja berkerudung merah putih di dalam forum. Arsyi dan Nadia, dua remaja tadi, bertugas membacakan ayat suci Al-Qur’an beserta artinya.
Menurut Ketua Rumah GACA Kraton, Siti Roikhanah, S.Pd., M.M., tema kegiatan hari itu “Tetap Bahagia Berdaya dan Bermanfaat di Masa Pandemi”. Ia berharap, kegiatan tersebut mendapat pencerahan sehingga dapat membahagiakan semua.
Sedangkan narasumber Elli Nurhayati, M.P.H., P.hD., Psikolog, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD), mengaku mengamati perubahan yang terjadi di kondisi Covid-19. Virus yang tidak tampak wujudnya dan memaksa orang-orang mengubah kebiasaan ternyata menimbulkan rasa curiga pada sebagian orang.
“Kita mudah curiga sama orang. Jangan-jangan, jangan-jangan,” kata Elli menggambarkan rasa insecurity (ketidakamanan) yang dirasakan kebanyakan orang.
Terdapat berbagai kondisi mental seperti stress dan cemas, somatisasi (menyebabkan instabilitas hormonal dan kinerja metabolisme tubuh), obsessive compulsive (terus menerus khawatir sehingga mengulang-ulangi tindakan antisipasi), depresi, dan juga adiksi (ketergantungan pada gadget maupun game).
Tantangan kesehatan mental saat ini adalah beradaptasi dengan “peradaban baru”. Di antaranya ialah adanya norma sosial baru, dimana salim-saliman dan cipika-cipiki yang dulu wajar sekarang harus dihindari. Selain itu, ada gaya hidup baru seperti kewajiban memakai masker. Juga peraturan kerja baru (lebih fleksibel, bekerja dari rumah) dan ketahanan mental baru (kebangkitan usai dari lockdown).
Menghadapi situasi serba baru tersebut, Elli mengingatkan untuk menjadi pribadi tangguh. Sifat tangguh berarti resiliens (tahan banting), dapat meregulasi cara berpikir (husnuzon), dapat meregulasi emosi (emosi stabil), serta beradaptasi dengan kesulitan dan kerasnya kehidupan.
Beberapa tips disampaikannya, yakni pertama, berusaha berpikir positif (husnudhon), kedua, lakukan “reframing” jika menemui masalah di luar kontrol diri, serta, ketiga yakin bahwa semua masalah ada jalan keluarnya karena ada Sang Maha Sutradara. Mengenai “reframing”, Elli menceritakan salah satu klien yang pernah curhat tentang betapa stres ketika anak-anaknya di rumah ramai dan hiperaktif. Rumah selalu berantakan karena perilaku anak-anak ini.
Ketika diajak mengobrol dan dipancing dengan alternatif lain seperti membawa anak-anak ke rumah neneknya, klien ini sempat diam sejenak dan ternyata merasa lebih keberatan. “Yah, nanti sepi ya, tapi Bu,” tuturnya seolah baru memikirkan soal itu. Pulang dari konsultasi itu, ia memiliki “frame” atau bingkai baru untuk memandang perilaku anak-anaknya. Klien tidak lagi mengeluh maupun mengalami stress melihat keaktifan mereka.
Dalam sesi tanya jawab, para peserta yang memiliki berbagai profesi seperti guru Bimbingan Konseling (BK) atau aktivis pendampingan anak turut bercerita soal kasus-kasus yang mereka hadapi. Elli menanggapi dengan memuaskan.
Salah satu hal menarik ialah ketika Elli menceritakan juga ketika anaknya bercerita soal teman lawan jenisnya, ia berusaha sedapat mungkin memposisikan diri sebagai teman cerita, tidak buru-buru menegur atau melakukan sesuatu yang membuat anak enggan berbagi ceritanya. “Kita menanggapi sebagai orang tua atau sebagai teman? Tentu teman yang lebih dewasa. Kalau dia bisa jadi teman, mereka jadi nyaman di rumah,” paparnya. (*)
Wartawan: Ahimsa W Swadeshi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow