Pengajian PWM DIY, Belajar dari Pengelolaan Wakaf di Turki

Pengajian PWM DIY, Belajar dari Pengelolaan Wakaf di Turki

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Pengajian Konsolidasi Organisasi PWM DIY (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta) merupakan sarana menguatkan ideologi para pimpinan di lingkup PWM DIY dan organisasi otonomnya. Jumat malam (4/3), pengajian secara daring ini mengangkat tema “Wakaf Produktif untuk Pemberdayaan Umat”.

H.Gita Danupranata. S.E., M.M., Ketua PWM DIY, menjelaskan bahwa bahwa kegiatan ini merupakan usaha agar Muhammadiyah dapat terus menjaga amanah pengelolaan wakaf secara lebih baik.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Narasumber yang dihadirkan adalah H. Hendri Tanjung, MBA, Ph.D. dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Dr. Drs. H. Jarot Wahyudi, S.H., M.A., Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan (MWK) PWM DIY.

Hendri yang juga doktor filosofi bidang ekonomi dari International Institute of Islamic Economics International Islamic University di Islamabad, Pakistan, mengulas pengelolaan wakaf di dunia khususnya Turki.

Terdapat dua fase pengelolaan wakaf, yaitu Turki zaman dahulu ketika masih menjadi kerajaan dan Turki saat ini. Saat masih menjadi pusat kekhalifahan Islam sekitar tahun 1553 M, Sultan Al-Fatih yang terkenal sebagai penakluk Konstantinopel memiliki peran dalam pengelolaan wakaf.

Di antara usaha-usahanya adalah: Pertama, mengelola wakaf produktif seperti mendirikan toko-toko, dapur umum, madrasah, pemandian umum, dan sebagainya. Kedua, Sultan menginisiasi adanya undang-undang wakaf, dimana pengelolaan wakaf digaransi konstitusi.

Ketiga, adanya kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan para pengusaha. Ada istilah wakaf government, yakni wakaf yang dibangun Sultan sebagai otoritas. Disini Sultan turut berwakaf dengan membangun fasilitas-fasilitas publik.

Wakaf tersebut juga dikelola pemerintahan Turki saat itu untuk menyelesaikan permasalahan urbanisasi. “Urbanisasi biasanya meninggalkan problem yaitu tempat tinggal, ini pinternya Al-Fatih,” jelas Hendri. Sultan Al-Fatih meminta seorang desainer untuk membangun area masjid, lengkap dengan sekolah, rumah sakit, asrama, dan fasilitas lain bagi masyarakat urban.

Sultan juga membangun pasar urban, wakaf kompleks, serta pusat-pusat kebudayaan seperti perpustakaan dengan menggunakan pengelolaan wakaf. Bahkan khusus rumah peribadatan, pemerintah tidak hanya membangun masjid, juga sinagog dan gereja. Hendri menulis cerita lengkap itu dalam sebuah novel pengenalan ekonomi syariah berjudul Econom.

Hendri juga membahas fenomena wakaf di Turki pada masa sekarang yang berada dalam pengelolaan lembaga bernama Directorate General of Foundations (DGF), fungsinya mirip BWI.

Dibangun pada 1924, lembaga ini berdiri saat sistem kerajaan diruntuhkan dan diganti sistem pemerintahan republik. DGF berafiliasi dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan mendapatkan dana tahunan sekitar 238 juta US dollar atau sekitar 500 miliar rupiah.

Terdapat setidaknya 20.800 unit wakaf yang dikelola lembaga ini dengan berbagai metode, di antaranya pembangunan aset produktif, pengelolaan bank, perusahaan, dan sebagainya. Hasil wakaf selanjutnya diarahkan untuk pendidikan seperti pemberian beasiswa, pendistribusian makanan, pendirian universitas, pembangunan museum, menggaji orang-orang miskin, dan sebagainya.

Pendistribusian makanan tidak hanya dilakukan pemerintah Turki untuk warganya, juga ke negara-negara lain seperti Kosovo dan Bosnia. Tahun 2017, mereka menyumbangkan makanan ke Palestina dan tahun 2019 ke Yaman.

Sedangkan Jarot Wahyudi menjelaskan pengelolaan wakaf di persyarikatan Muhammadiyah, khususnya DIY. Narasumber kedua ini mengaku banyak terinspirasi penyampaian narasumber sebelumnya.

Bila ada level dalam pengelolaan wakaf yaitu ‘aliman, muta’alliman, sami’an, serta no where. “Muhammadiyah ingin menjadi ‘aliman, yakni punya harta tapi juga punya ilmu,” tutur Jarot, namun saat ini masih dalam tataran muta’alliman yakni yang masih terus belajar mengenai pengelolaan wakaf.

Beberapa strategi yang menjadi komitmen MWK PWM DIY, yakni melakukan kampanye wakaf dengan pendekatan TSMB (terstruktur, sistematis, masif, berkelanjutan); membuat program yang mendukung wakaf dan memudahkan pengelola serta berbagai pihak dalam berwakaf.

Juga melakukan kolaborasi dalam mengelola wakaf seperti kerja sama antarmajelis; memikirkan bagaimana aset-aset wakaf yang kurang produktif bisa didorong untuk lebih produktif; meningkatkan kapasitas sebagai pengelola wakaf sehingga makin dipercaya; serta memastikan pengelolaan wakaf sesuai aturan baik BWI maupun internal Muhammadiyah.

Terdapat tiga lapisan tenaga yang didorong untuk membantu kinerja MWK. Yakni pemikir wakaf yang tediri dari profesor dan doktor ahli, juga para profesional wakaf yang dibayar untuk mengelola wakaf, serta supporting staff untuk membantu proses pengelolaan wakaf.

“Kita berharap wakaf di Muhammadiyah seperti air mengalir dari hulu ke hilir. Kata Al Quran, harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja, di antara kamu,” kata Jarot. (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow