Muhammadiyah dan NU Tolak Permendikbud Juknis Pengelolaan Dana BOS Reguler
YOGYA – Permendikbud nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler jadi sorotan tajam Aliansi Pendidikan Penyelenggara Pendidikan. Melalui juru bicaranya, Dr. Kasiyarno, M.Hum., aliansi ini menolak tegas juknis Mendikbud tersebut, Jum’at (3/9).
Aliansi terdiri dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Lembaga Pendidikan Katolik, Tamansiswa, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan elemen lainnya.
Pernyataan sikap itu disampaikan secara teleconference. Penandatangan adalah Dr. Sungkowo Mudjiamano, M.Si, K.H. Arifin Junaidi, Romo Dr. Vinsensius Darmin, Ki Prof. Drs. H. Pardimin, M.Pd. Ph.D., dan Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. Dalam acara, turut hadir para pemerhati pendidikan seperti Doni Koesoma A.M.Ed., Prof. Dr. Muchlas Sumani, serta Indra Charismiadji.
Keberatan ini khususnya pada pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang diharuskan, “memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) peserta didik selama 3 (tiga) tahun terakhir.” Jumlah ini mengacu pada jumlah seluruh siswa, bukan jumlah satu angkatan.
“Kebijakan tersebut mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia dan melanggar amanat konsitusi negara,” tutur Kasiyarno membacakan pernyataan sikap.
Terdapat banyak sekolah, khususnya swasta, yang sampai saat ini memberikan fasilitas pendidikan kepada para siswa yang tidak memiliki akses pendidikan. Termasuk di antaranya sekolah-sekolah di daerah terpencil. Kebanyakan sekolah ini tidak dapat memenuhi kriteria permendikbud tersebut karena jumlah siswanya di bawah 60.
Doni Koesoema menambahkan bahwa sebenarnya ada pengecualian yang diberikan oleh pemerintah untuk sekolah-sekolah daerah 3T (Terdepan, Terpencil, Tertinggal). Namun, masih belum bisa dikatakan memuaskan karena pada kenyataannya, banyak sekolah di daerah kota yang juga tidak memiliki cukup banyak siswa. Ini pun tidak semata-mata kesalahan manajemen, melainkan karena kondisi.
Bagi sekolah negeri masih ada kemudahan yang diberikan pemerintah yakni dengan menggunakan rekomendasi kepala dinas atau kepala daerah. Namun, sekolah swasta seolah-olah tidak beri kemudahan untuk mengakses dana BOS.
“Negara gagal hadir untuk anak-anak Indonesia yang justru di masa pandemi ini mereka membutuhkan bantuan dari Negara,” tegas Doni.
Unifah, Ketua Umum PGRI, menyatakan bahwa ketidakadaan dukungan dari pemerintah dapat menyebabkan munculnya learning loss dan lost generation (hilangnya generasi).
Harianto Ogie, Sekjen Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU, juga menyatakan kekecewaannya. Pihak swasta selalu berusaha hadir untuk berkontribusi membantu dan mengabdi pada negara ketika banyak anak yang tidak bisa mengakses pendidikan di sekolah negeri.
Romo Dr. Darmin menyebut peraturan ini menjadi “lonceng kematian” bagi sekolah-sekolah swasta. Padahal menurutnya, konstitusi mengharapkan pihak negara dan swasta menjadi mitra. Harusnya bekerja sama mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tokoh-tokoh lain yang juga memberikan pandangan senada adalah H. Ali Rahim, S.Pd., M.Pd, Dudung Abdul Qodir dan Basyarudin Thayib (Pengurus Besar PGRI) serta Indra Charismiadji (pemerhati pendidikan). Menjelang akhir, Doni Koesoma kembali menegaskan hubungan negara dan swasta dalam membangun pendidikan, “Pemerintah harusnya punya perspektif positif terhadap para penyelenggara pendidikan swasta.” Sehingga yang dilakukan adalah mendampingi, bukan mengesampingkan. (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow