Mbah Zamroni Sesepuh Muhammadiyah Bantul

Mbah Zamroni Sesepuh Muhammadiyah Bantul

Smallest Font
Largest Font

BANTUL — Saya bersyukur sekali, pada Ahad, 22 Desember 2019, dapat ikut hadir dalam acara “Hari Bermuhammadiyah” bersama puluhan ribu warga Muhammadiyah Bantul. Agenda tahunan yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bantul. Lebih bersyukur lagi, dapat duduk di samping Mbah Zamroni.

Lahir tahun 1923, beliau kini berusia 96 tahun. Mungkin, termasuk warga Muhammadiyah yang paling tua.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Dan di usianya itu, beliau masih tampak sehat dan penuh semangat. Memorinya masih kuat sekali. Misalnya, saat saya tanyakan tentang anak  dan cucu beliau.

Dengan sangat lancar beliau menceritakan tentang anak dan cucunya hingga canggah. Sampai saat ini, Mbah Zamroni memiliki 10 anak, 17 cucu, 17 buyut dan 6 canggah.

Pun, ketika saya tanyakan tentang kemampuan penglihatan. Beliau tidak menggunakan kacamata.

Mbah Zam malah mengeluarkan buku kecil berjudul “Meniru Nabi”. Dan memperlihatkan kepada saya, bagaimana beliau masih jelas membaca tulisan dalam buku itu.

Tidak kalah juga dengan penglihatan jarak jauh, saat saya tunjuk gedung SD Muhammadiyah yang berada di barat Lapangan Paseban. Beliau bilang, “Itu hijau!”. Tepat seperti warnanya.

Salah satu hal paling menyenangkan bila bertemu dengan orang sepuh adalah kita bisa banyak bertanya untuk mengambil pelajaran. Karena, banyak hal yang sudah beliau alami dalam hidup.

“Bagaimana bisa sehat, Mbah?” tanyaku.

“Saya mengurangi makan nasi. Seperti Kanjeng Nabi, saya hanya makan kurma. Milih yang empuk dan lembut,” demikian jawab Mbah Zam.

Beliau juga bercerita bahwa salah satu cucunya tinggal di Riyadh. Dan selalu mengirim kurma untuk beliau dan keluarga di Karang Tengah, Imogiri, Bantul.

“Saya juga makan nasi, kalau dikirim anak cucu. Dinggo nglegani, satu-dua sendok,” imbuh Mbah Zam.

Kalau diundang waliwahan, kalau diberi makanan dalam piring, beliau memilih tidak makan. Karena pasti tidak habis. “Dan kalau tidak habis mubadzir, bikin dosa,” kata Mbah Zam.

Kalau prasmanan, anak atau cucunya akan mengambilkan dua-tiga sendok. “Yang penting diberi kuah yang banyak,” jelas Mbah Zam, dengan antusias.

“Nopo resepipun gesang, Mbah? Apa resepnya hidup, Mbah?”

Dalam hidup ini, tidak boleh gelo (kecewa). Apa pun kondisinya. Karena setiap takdir untuk kita itulah yang terbaik menurut Allah SWT. “Kalau gelo, itu artinya tidak percaya dengan Allah SWT,” kata Mbah Zam lagi.

Lalu, beliau bercerita banyak hal. Salah satunya saat beliau shalat di Masjid Syuhada Yogyakarta dan sepedanya hilang. Beliau tidak menyesal atau kecewa, kenapa shalat di Masjid Syuhada?

Eh, ternyata beberapa bulan berikutnya, sepeda itu bisa kembali ke rumah beliau. Padahal, sudah berpindah tangan dan dijualbelikan. Bahkan, sudah dipreteli bagian per bagian. Tapi, akhirnya sepeda itu bisa kembali. Sampai-sampai ada yang bilang, Mbah Zam ini sakti.

Begitulah, ojo gelo. Karena Allah SWT tidak akan mensia-siakan hamba-Nya. Setiap keadaan harus dihadapi dengan husnuzhan kepada Allah SWT.

Masih banyak sekali, hal yang beliau bagi dalam beberapa menit dialog kami. Seperti mata air yang tidak ada hentinya.

Hanya karena waktu, kami kemudian terpisah. Sehat selalu Mbah Zam. Sesepuh Muhammadiyah Bantul yang sejak 2003 hingga saat ini menjalankan puasa Dawud. Sehat selalu, karena kami masih perlu banyak belajar dari panjenengan. (Setiya)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow