Makan Burger Kok Menyebut Kemandirian Pangan, Itu Palsu

Makan Burger Kok Menyebut Kemandirian Pangan, Itu Palsu

Smallest Font
Largest Font

YOGYAKARTA — Hati-hati dengan kemandirian palsu? Contohnya sangat sederhana, ketika ada orang mengatakan sudah berhasil dalam hal kemandirian pangan tetapi ia justru mengonsumsi roti, itulah kemandirian pangan palsu. Mengapa? Karena bahan baku roti adalah gandum impor.

“Belum lama ini saya ketemu seseorang. Ia dengan bangga mengatakan tentang kemandirian pangan. Lalu saya tanya, kamu makan apa? Ia menjawab burger. Saya katakan padanya itu kemandirian palsu, semu, karena gandumnya pasti impor,” ungkap Prof. Dr. Ir. Susamto Somowiyarjo, M.Sc., Guru Besar Fakultas Pertanian UGM dan anggota Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Kalimat tegas tapi pelan itu disampaikan pada webinar “Ketahanan Pangan di Masa Pandemi Covid-19”. Acara daring ini diselenggarakan Forum Unisa (For-U) bekerja sama dengan Prodi Bioteknologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sabtu 1 Mei 2021.

Kalau mau mandiri, menurut Prof. Samto, harus betul-betul mengonsumsi makanan lokal dan berbahan baku dari lokal. “Tapi kalau burger, spaghetti, itu namanya kemandirian palsu,” tandasnya sambil tersenyum.

Agar bisa sampai kepada kemandirian pangan harus dimulai dari hal kecil dan lingkup paling kecil yaitu keluarga. Ia menyebut beberapa makanan lokal yang sebenarnya bisa menggantikan makanan impor, misalnya growol dan getuk.

“Kalau tetap tergantung makanan berbahan baku impor itu namanya secara pangan belum berdaulat. Masih suka disetir macam-macam kepentingan. Jika keadaannya seperti itu, kemudian diberlakukan stop impor gandum, bisa gonjang-ganjing,” katanya.

Keragaman jenis makanan juga menjadi perhatian serius Profesor Samto pada acara tersebut, apalagi Indonesia adalah negara yang diberi kakayaan alam berlimpah ruah. Ironisnya, sampai sekarang masih ada yang berpendapat “makan itu ya nasi. Meskipun sudah kenyang tapi belum makan nasi ya masih harus makan.”

“Hal itu didukung adanya pendapat bahwa sega (nasi) adalah singkatan dari mak seg terus lega. Jika dipaksanakan nasi sebagai makanan pokok kan repot bagi daerah-daerah yang tidak bisa menanam padi. Jika kemudian dipaksakan tanam padi justru merusak lingkungan,” jelasnya.

Prof. Samto juga menyampaikan masalah keamanan pangan, yang menurut penilaiannya masih rendah dan menyedihkan. Contoh konkrit, masih dikonsumsinya buah meski sudah busuk. Alasannya mubadzir. Kemudian dihilangkan busuk terus dijus. Itu namanya menyebarluaskan penyakit.

Juga roti basi, berjamur, tapi tetap saja ada yang mengonsumsi setelah bagian berjamur dihilangkan. “Ini persoalan serius. Makan makanan yang salah, tidak sehat. Tugas kita bersama untuk menyehatkan generasi kita,” kata Prof. Samto yang mengaku sudah lima tahun tidak membuang sampah, karena langsung diolah sendiri.

Masa pandemi ini berdampak besar pada ketersediaan pangan, karena pasokan terganggu dan infrastruktur terbengkelai. Untungnya, lanjut Prof. Samto, Yogya sudah memiliki pengalaman menghadapi hal serupa ketika terjadi gempa bumi tahun 2006 lalu.

“Dampaknya kan hampir sama, yaitu pasokan terganggu dan infrastruktur juga kacau. Selokan banyak yang tidak terawatt. Sekarang ini terjadi, malah tidak hanya di Yogya, juga di daerah-daerah lain,” ungkapnya.

Ia mengutip kata-kata Ir. Soekarno, presiden pertama Indonesia, “Tidak ada gunanya bicara politik bebas aktif kalau pangan masih bermasalah.” Karena itulah, menurutnya, masalah ketersediaan dan keamanan pangan harus sesegera mungkin diatasi. Untuk menuju hal itu pengusaan bioteknologi pangan menjadi prioritas diselesaikan.

Muhammadiyah, menurutnya, memiliki aset dan kemampuan untuk mengatasi hal itu. “Ini masalah serius dan Muhammadiyah kalau sudah terjun selalu serius,” tandasnya. (hr)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow