Majelis Tarjih dan Tajdid Bahas Hukum Sesajen

Majelis Tarjih dan Tajdid Bahas Hukum Sesajen

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Belakangan media sosial diramaikan dengan video berdurasi 30 detik yang menunjukkan seorang pria menendang sajen. Sebelum melakukannya, ia sempat berseru, “Inilah sesungguhnya yang mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allohu Akbar, Allohu Akbar!”

Seolah merespon hal itu, Pengajian Tarjih Muhammadiyah pada Rabu (12/1) menghadirkan Dr. H. Sopa, M.Ag, Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhahmmadiyah, di antaranya menyinggung hukum sesajen dalam pandangan Islam, khususnya Muhammadiyah.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Melihatnya dari konteks kejadian bencana Gunung Semeru, Sopa menyampaikan bahwa terdapat beberapa terminologi yang digunakan untuk menyebut bencana dalam Al-Qur’an.

Pertama, musibah, yang bisa terjadi karena kesalahan manusia. Kedua, bala, yang dapat terjadi meski tanpa kesalahan manusia. Juga terdapat fitnah, yaitu bencana yang dijatuhkan oleh Allah dan dapat menimpa siapa saja, baik yang berdosa maupun tidak.

Menurut Sopa, “Erupsi gunung berapi lebih tepat kita katakan sebagai fitnah.” Karena bencana tersebut menimpa siapapun, tanpa pandang bulu siapa yang berdosa dan tidak. Oleh karenanya, bencana seperti Semeru tidak sepatutnya dikatakan sebagai murka Allah SWT.

Terdapat beberapa poin penting yang diulas narasumber. Pertama, memang ada tradisi masyarakat untuk membuat sesajen atau sesaji. Umumnya adalah makanan yang ditujukan untuk selain Allah SWT, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan. Pun tidak dianjurkan untuk memakannya.

Kedua, bila dilihat dari segi dakwah, Sopa menilai, “Cara yang dilakukan itu dikatakan tidak tepat karena menggunakan cara yang kasar.” Tidak terdapat sikap simpati kepada masyarakat setempat yang saat itu posisinya adalah korban bencana, sehingga video yang direkamnya itu mengundang banyak antipati.

Sopa mengingatkan QS An-Nahl : 125 yang berarti, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

Ketiga, secara historis, terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme yang sudah tumbuh sebelum agama Islam masuk ke Indonesia. Mereka percaya bahwa alam, pohon, gua, gunung, dan lain-lain dihuni oleh kekuatan-kekuatan supranatural. Sehingga, banyak orang membuat sesajen karena itu.

Ada sebagian yang berpendapat, “Itu kan ada mirip dengan kurban.” Perlu diingat bahwa dalam konteks kurban, Allah SWT sama sekali tidak memerlukan daging kurban yang diberikan oleh manusia, melainkan Dia ingin melihat ketaqwaan dan ketundukan hamba-Nya.

Menutup bahasan tentang hukum sesajen, Sopa menceritakan salah satu kisah yang pernah terjadi di negeri Mesir ketika Amru bin Ash menaklukkan wilayah itu. Terdapat tradisi di masyarakat dekat sungai Nil, yakni bahwa mereka harus menumbalkan seorang gadis untuk penguasa sungai Nil supaya sungai tersebut tidak kering.

Amru bin Ash pun memerintahkan untuk menghentikan tradisi yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam tersebut. Awalnya, masyarakat merasa keberatan. Juga rupanya, ketika tidak ada tumbal, air sungai tersebut betul-betul menjadi kering. Amru pun mengirim surat kepada Khalifah Umar Bin Khatab.

Mendengar hal tersebut, Umar menuliskan surat pada Amru. Surat itu berbunyi, “Amma ba’du. Jika kamu mengalir dengan kehendakmu sendiri, maka kamu tidak usah mengalir. Jika Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa yang mengalirkanmu, maka kami mohon kepada Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa agar Dia mengalirkanmu.”

Oleh Amru bin Ash, surat itu dilempar ke sungai yang kemudian setelah itu air sungai pun benar-benar mengalir kembali hingga tingginya mencapai enam belas hasta. Fenomena tersebut mengakhiri kebiasaan buruk masyarakat dekat sungai Nil.

Kisah tersebut melalui surat Umar tadi dapat menjadi bahan renungan untuk melihat bagaimana kekuasaan Allah, serta sikap seorang muslim seharusnya terhadap tradisi nenek moyang seperti sesajen. (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow