LHKP PWM DIY Tanggapi Persoalan Miras: Coreng Citra Jogja Kota Pelajar dan Budaya
YOGYA – Isu terkait peredaran dan dampak dari minuman beralkohol/keras (miras) mencuat di Jogja lantaran peraturan soal peredaran minuman beralkohol utamanya di Kota Jogja dianggap tak mutakhir. Sebab, aturan itu terakhir kali disahkan pada 1953, atau tepatnya pada Perda Kota Jogja No. 7/ 1953 tentang Izin Penjualan dan Pemungutan Pajak Miras.
Sebelumnya, ormas Islam Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan MUI telah menyatakan sikap untuk menolak berdirinya toko minuman beralkohol di Jogja yang makin tak terkendali. Bahkan, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (LHKP PWM) DIY juga ikut menyatakan sikap dan buka suara.
Ketua LHKP PWM DIY Drs. Farid Bambang Siswantoro, C-Me., MIP. menuturkan problem soal peredaran minuman beralkohol ini sejatinya telah berlangsung lama bahkan telah mengakar di masyarakat.
Dia mengatakan, minuman beralkohol memiliki dampak yang berbahaya. Bahkan, Farid menyebut 90 persen kejahatan dimulai dari pelaku yang mengonsumsi minuman beralkohol. Salah satu buktinya adalah kejadian penusukan terhadap santri di Krapyak, Sewon, Bantul yang belum lama ini terjadi.
Sebelum menjalankan aksinya, pelaku diketahui sempat minum minuman beralkohol. "Ketika seseorang mabuk, maka dia tidak lagi memiliki pertimbangan yang sehat, wajar. Wajarnya manusia melakukan sesuatu yg bisa dipertanggungjawabkan," ujar Farid di Ruang Sidang Gedung Dakwah PWM DIY, Sabtu (26/10).
Dia menuturkan peredaran minuman beralkohol yang tak terkendali di Yogyakarta bisa mencoreng citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya. Dia telah menangkap adanya skeptisisme di tengah masyarakat terkait citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar.
"Ada flyer 'Ngapain menyekolahkan anak di Jogja, khawatir di sana belajar minum miras'. Ini luar biasa. Kasus akhir-akhir ini memiliki dampak yang besar. Kalau kita sadari, itu sebagai tanggung jawab kita sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya, tempat persemaian nilai-nilai yang luhur," tuturnya.
Dia mengatakan bukanlah hal yang sederhana untuk bisa mengatur peredaran minuman beralkohol. Sebab, menurutnya upaya ini melibatkan berbagai pihak yang juga punya porsi dan ruang lingkup masing-masing.
Dia merinci adanya importir, eksportir, pedagang besar, hingga distributor, dan penyalur seperti salah satu outlet minuman beralkohol yang ada di Kota Jogja. Aturan yang tak sama di tiap kabupaten kota juga menurutnya semakin menyulitkan pengendalian peredaran minuman beralkohol.
"Kalau misalnya seseorang mencermati hal itu ketika di kabupaten aturannya longgar, dia akan memilih di sana. Kalau kemungkinan sisi konsumen lebih sedikit, dia akan memilih wilayah lain. Hal seperti itu sebagai bagian dari masalah," tuturnya.
LHKP PWM DIY turut menyatakan sikap tegas. Farid menuturkan LHKP PWM DIY mengharapkan agar dampak peredaran miras bisa ditekan sehingga kejadian seperti pengeroyokan santri di Krapyak tak terulang lagi. Di sisi lain, dia juga menuntut adanya aturan yang lebih ketat terkait peredaran minuman beralkohol.
"Perlu ditetapkan pengaturan distribusi miras secara lebih ketat dan tegas di wilayah DIY sebagai daerah berbasis pengembangan pendidikan karakter dan nilai-nilai budaya Jawa yang adiluhung," ungkapnya.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow