Haedar Nashir: Seni, Budaya, dan Tradisi Perlu Dimaknai Secara Proporsional dan Mendalam

Haedar Nashir: Seni, Budaya, dan Tradisi Perlu Dimaknai Secara Proporsional dan Mendalam

Smallest Font
Largest Font

YOGYA - Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menilai bahwa Muhammadiyah telah menunjukkan responsifitas yang memadai dalam menghadapi tantangan dan dinamika budaya, termasuk dalam konteks tradisi sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep resmi "Dakwah Kultural" yang dihasilkan dari Tanwir Denpasar tahun 2002. Hal ini ia sampaikan dalam amanatnya pada Pembukaan Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Kamis (14/3).

Haedar berpendapat bahwa pandangan terhadap Dakwah Kultural tersebut seharusnya tidak membenarkan praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pemikiran agama dalam Muhammadiyah, termasuk dalam menanggapi fenomena seperti syirik, bid’ah, dan khurafat.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Menurut Haedar, konsep dan pemikiran yang terkandung dalam Dakwah Kultural Muhammadiyah, serta pemikiran dakwah Muhammadiyah sebelumnya, telah menyajikan kerangka pemikiran, pendekatan, metode, dan aspek-aspek lainnya yang lengkap terkait dengan dakwah dalam Muhammadiyah.

“Jika disimak secara seksama, objektif, dan jernih maka konsep  dan pemikiran yang terkandung dalam Dakwah Kultural Muhammadiyah maupun pemikiran-pemikiran dakwah Muhammadiyah yang lahir sebelumnya, maka sesungguhnya sudah sangat lengkap pemikiran, pendekatan, metode, dan hal-hal lainnya  seputar pemikiran dakwah dalam Muhammadiyah,”jelasnya.

Haedar kemudian menggarisbawahi pentingnya menempatkan tradisi, seni, budaya, dan kebudayaan secara seimbang bagi Muhammadiyah, dengan memberikan penafsiran yang dalam dan positif terhadap maknanya. Menurutnya Muhammadiyah harus memperhitungkan proporsi antara tradisi dan agama, dan tidak sembarangan menyatakan sesuatu sebagai bid’ah.

“Setiap tradisi apakah itu murni kebudayaan maupun terkait dengan keagamaan memiliki makna tertentu dan tidak otomatis bertentangan dengan agama dalam hal ini Islam. Penting memahami tradisi, budaya, dan kebudayaan secara benar, objektif, dan proporsional,”tegas Haedar.

Lebih lanjut, Haedar memberikan contoh tentang ziarah kubur dalam masyarakat Muslim di Indonesia, di mana Haedar menekankan pentingnya mempertimbangkan motif dan perilaku di balik ziarah tersebut sebelum menghukuminya sebagai bid’ah.

Pemahaman yang tepat tentang purifikasi Islam, menurut Haedar sangatlah penting, dan Muhammadiyah harus menghindari sikap yang anti terhadap Sunnah Nabi. Pendekatan yang komprehensif dan terperinci dalam memahami tradisi juga sangat ditekankan olehnya.

Haedar kemudian menyoroti pentingnya pendekatan ilmiah sosial dalam memahami seni, budaya, dan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan aspek keagamaan. 

“Pada saat yang sama pandangan keislaman yang bersifat purifikasi mesti disertai dengan dinamisasi dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang utuh, mendalam, kaya, interkoneksi, dan menyeluruh sehingga tidak melahirkan bias atau hitam-putih yang menyebabkan pemahaman dan pembumian Islam menjadi sempit, kering, dan anti kehidupan. Padahal Islam baik dalam ajaran maupun sejarah Nabi dan era sesudahnya hadir sebagai agama yang membawa kemajuan peradaban utama. Itulah Islam berkemajuan yang melahirkan kebudayaan serta peradaban maju sesuai nilai-nilai dasar Islam,” tutup Haedar.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    1
    Wow