Era Disrupsi, Muncul Ustadz Belajar dari Google. Akibatnya?
YOGYAKARTA — Ada perbedaan menyolok antara masa lalu dengan era disrupsi sekarang. Tentang ulama misalnya, dulu untuk menjadi ustadz atau kiai seseorang harus belajar di pesantren atau kepada guru yang benar-benar paham agama Islam. Sekarang ada ustadz yang muncul tiba-tiba, dengan bekal teknologi.
Persoalan itu mengemuka dalam Pengajian Ramadhan 1442 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY hari kedua, Jum’at 23 April 2021. Acara yang digelar secara online melalui zoom meeting dan disiarkan live streaming YouTube mediamuID berlangsung sejak Kamis 22 April hingga Ahad 24 April. Hari kedua diikuti lebih dari 200 peserta.
“Karena teknologi, sekarang semua orang bisa menjadi ahli. Yang jadi pakem pelajaran tidak lagi ditempuh. Guru atau mentor tidak dipakai, cukup bertanya kepada guru bernama google,” kata Assoc. Prof. Dr. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc., M.Ag., dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dalam pengajian tersebut.
Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tidak berjalan seperti biasanya karena bermunculan kompetitor baru yang lebih efisian dan efektif, serta penemuan teknologi baru yang mengubah peta bisnis. Era disrupsi juga bisa dimaknai sebagai terjadinya inovasi besar-besaran yang mengubah perilaku masyarakat secara drastis.
Era disrupsi ditandai dengan kemajuan teknologi informasi sangat pesat. Antara lain, kehadiran mesin pencarian google membenamkan cara-cara konvensional yang selama ini dipakai dalam mencari informasi. Jika sebelumnya harus bertanya kepada ahli atau membuka lembaran-lembaran buku, sekarang cukup satu kali klik di mesin google.
Kehadiran taksi online juga memberi bukti bahwa teknologi mampu mengangkat perusahaan kecil mengalahkan perusahaan besar. Demikian halnya dengan belanja online. Sekarang hampir semua menggunakan teknologi ini, jika tidak maka akan tergilas.
“Di era ini kita mengalami dengan apa yang disebut deprivatisasi,” kata Wawan Gunawan.
Sisi positif dari era disrupsi adalah orang bisa belajar dengan cepat, mencari informasi secara cepat, dan mencari sumber-sumber informasi juga dengan cepat. Dampaknya antara lain adalah munculnya ustadz-ustadz tanpa melalui proses belajar yang selama ini dipakai. “Para imam terdahulu, misalnya Imam Maliki, memerlukan guru untuk belajar agama,” jelasnya.
Sisi negatifnya adalah pemahaman agama menjadi tidak komprehensif, bahkan kadang tidak menyentuh substansi. Ia menyebut contoh ada ustadz di masa pandemi Covid-19 yang mengatakan “di masa pandemi ini mestinya mendekat ke masjid bukan malah menjauh”, “tiga kali berturut-turut tidak shalat Jum’at maka kafir,” dan “shaff shalat harus rapat, lha kok malah jaga jarak.”
Menurut Wawan Gunawan, pernyataan itu seakan-akan benar karena disertai dalil-dalil, tapi substansi agamanya salah. “Orang mau ke masjid silakan saja, tapi protokol kesehatan juga harus diterapkan. Sekarang ini masa pandemi, situasi darurat. Menjaga nyawa wajib dilakukan,” tegasnya.
Tentang shalat Jum’at, kata Wawan Gunawan, bukan meninggalkan. Karena hujan saja dibolehkan tidak menunaikan shalat Jum’at. Tapi, harus mengganti dengan shalat Dhuhur. “Itu hanya karena jalanan becek. Nah, pandemi tidak hanya soal becek, tapi nyawa,” tambahnya.
Beberapa hal yang disarankan untuk dilakukan di era disrupsi ini adalah:
- Gunakan teknologi sebagai bagian dari dakwah keagamaan. Pada situasi tertentu penggunakaan teknologi ini menjadi kewajiban.
- Menaikkan kualitas keagamaan diri sendiri.
- Harus dinamis sesuai karakter dalam berislam, sehingga bisa luwes menghadapi berbagai perubahan dan perkembangan. (hr)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow