Ramanda Haris Darmawan dalam Kenangan: “Kolonel” HW Kota Yogyakarta
Kolonel, begitu sapaan akrab Ramanda H. Haris Darmawan yang sempat menjadi Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) 1205 Hizbul Wathan (HW) Kota Yogyakarta periode 2005-2017. Sebutan itu lazim digunakan oleh teman-teman Haris di Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta karena kepribadiannya tegas. Tentu saja, kabar berpulangnya sang kolonel tanggal 3 Agustus 2021 membawa kedukaan mengenal baik sosok ramanda yang berkepribadian islami dan bersemangat juang tinggi.
Drs. Endra Widyarsono, M.Pd, M.M., Ketua Umum Kwartir Pusat (Kwarpus) HW, yang cukup mengenal almarhum Haris, kepada mediamu.com mengatakan, “Bahkan saya membaca salah satu flyer saat beliau meninggal, di situ ada yang menuliskan ‘Selamat jalan, Jenderal.”
Ia menghormati sosok Haris yang merepresentasikan sila pertama dalam Undang-Undang HW, yakni dapat dipercaya dan selalu tepat waktu. Kata “tepat waktu” sebenarnya masih menjadi usulan yang akan dibahas dalam muktamar nanti. Menurut Endra, itu merupakan salah satu hal utama yang harus dimiliki seorang pandu dan tergambar dalam diri Haris.
Endra mengaku sudah mengenal almarhum yang saat itu merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama (Kemenag). Inilah yang membuat Endra yakin bahwa ketika Haris menjadi Ketua Kwarda Kota Yogyakarta, HW semakin baik ke depannya. Karena, penanaman nilai-nilai Islam sangat penting dan inilah yang membedakan HW dengan gerakan kepanduan lain. Sebelumnya, Haris diminta Endra yang saat itu menjadi Kepala SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta menjadi guru di sana.
Selain di SMP Muhammadiyah 10, Haris juga pernah menjadi guru agama di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) sebagaimana disampaikan M. Wachid Achmadi, sekarang menjadi bagian dari Bidang AIK (Al Islam dan Kemuhammadiyahan) Kwarpus HW. Keduanya mengenal dekat selain karena aktif di HW, juga memiliki anak yang sama-sama menempuh kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). “Kalau ketemu pasti ceritanya rata-rata bab anak,” terangnya. Apalagi karena jarak rumah keduanya tidak terlalu jauh, Wachid di Kelurahan Kadipaten kerap berjumpa dengan Haris di Masjid Taqwa, Suronatan, kampung tempat tinggalnya. Tentu saja itu menjadi jarang ketika bencana pandemi Covid-19 sejak satu setengah tahun lalu.
Wachid yang terpaut 4-5 tahun lebih muda dari Haris mengaku pernah mendengar nama sang kolonel sejak awal keterlibatan di HW sebelum kepanduan ini dibekukan pemerintah tahun 1961. Saat itu Wachid yang masih di bangku SD baru masuk di tingkat Athfal, tingkat paling dasar dalam pendidikan HW. Sedangkan Haris sudah di tingkat Pengenal, setingkat di atasnya. Mereka bertemu dan sama-sama aktif kembali usai HW dibangkitkan tahun 1999. Terakhir, keduanya turut bergabung ke dalam HW Wreda, wadah bagi para kader HW sudah lanjut.
Dari seluruh perjalanan itu, Wachid dapat melihat semangat juang dan integritas tinggi pada sosok Haris. Berdasarkan cerita Wachid, mantan Ketua Kwarda itu selalu bisa menggerakkan banyak kader HW ketika ada kegiatan. Contohnya, saat Pawai Alegoris oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan menghadirkan berbagai kelompok kepanduan. “Pawai Alegoris itu dilaksanakan tanggal 18 Agustus, rutin itu,” jelasnya. Pada saat itu gerakan-gerakan kepanduan lain mewakilkan rata-rata 10 orang anggotanya, namun Haris membawa kurang lebih 600 kader HW di Kota Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Sosok seperti Haris, meskipun dikenal tegas dan berwibawa, namun disukai anak-anak yang diajarinya saat ia menjadi guru agama maupun pembina HW. Salah satunya Ajeng Triana Kusuma Putri yang sempat aktif di Kwarda HW Kota Yogyakarta dan mengenal Haris saat mengikuti Jambore HW di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ajeng segera mengagumi sosok ramanda yang ketika itu memberikan pidato dengan penuh semangat.
“Meskipun senior, beliau ramah ke junior-juniornya,” tutur perempuan yang kini sudah menjadi seorang Ibu muda dan terlibat di ortom Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). Masih lekat dalam ingatannya, beberapa saat sebelum menjalankan tugas sebagai protokol dalam Jambore Nasional, Ajeng dan teman-temannya mendapat latihan fisik dan mental cukup berat dari para senior di HW. “Di-“gojlok”-lah bahasa jawane,” jelasnya. Yang mengesankan baginya adalah ketika itu sosok Haris menegur para senior yang lain dan membela para kader-kader muda tersebut. Laki-laki itu pun memberi pesan agar tidak kapok berjuang di HW.
Ada banyak cerita kenangan dan inspirasi yang ditemukan oleh orang-orang yang mengenal “Kolonel” Haris. Ajeng menutup ceritanya dengan berbagi sebuah wejangan yang tidak bisa ia lupakan dari gurunya itu, “Ketika kamu berjuang di organisasi, kamu harus memberi dedikasi tinggi dan diniatkan untuk ibadah.” (*)
Wartawan: Ahimsa
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow