PP Aisyiyah Desak KPU Revisi Peraturan Baru Tentang Keterwakilan Perempuan
YOGYA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan No. 10 Tahun 2023 untuk mengatur pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2024 terkait penghitungan suara bagi bakal calon perempuan di Daerah Pemilihan (Dapil).
Dalam peraturan yang terbit pada 17 April 2023 itu, terdapat satu pasal yang dirasa kontroversial, yakni pasal 8 ayat (2) huruf a, yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah Bakal Calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah.”
Tentunya, hal tersebut direspons keras oleh Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah) melalui pernyataan sikapnya tertanggal 22 Mei 2023. Disampaikan oleh Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, Peraturan No. 10 Tahun 2023 pasal 8 ayat (2) huruf a, dapat dinilai sebagai bentuk ketidakberpihakan pada perempuan di ranah politik.
“Ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai bentuk ketidakberpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan yang memungkinkan perempuan mengejar ketertinggalan di bidang politik dan pemerintahan melalui kehadiran lebih banyak perempuan dalam proses pemilu,” ujar Tri seperti mengutip pernyataan sikap PP ‘Aisyiyah.
Menurutnya, hal ini berbeda dengan pengaturan Pemilu 2019 dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 yang mengatur bahwa dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas. Adapun, Pengaturan PKPU 20/2018 merupakan kelanjutan dari konsistensi implementasi regulasi serupa yang telah diterapkan sejak penyelenggaraan Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2014.
Selain mengubah norma afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah dipraktekkan pada dua pemilu sebelumnya, Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 secara hukum disebut PP ‘Aisyiyah juga melanggar dan bertentangan dengan Pasal 245 UU 7/2017 yang menyatakan bahwa Daftar bakal calon di setiap daerah pemilihan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Dampaknya, Pasal 8 ayat (2) huruf a dalam PKPU 10/2023 bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD.
Hingga saat ini PP ‘Aisyiyah, menantikan itikad baik dari KPU yang telah menerima keberatan yang disampaikan banyak pihak terkait hal tersebut yang pada konferensi pers pada 10 Mei 2023 menyatakan akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023 disertai kesempatan bagi partai politik untuk melakukan perbaikan sehingga keterwakilan perempuan memenuhi ketentuan Pasal 245 UU 7/2017. Namun hingga saat ini, KPU belum merealisasikan revisi PKPU 10/2023 yang telah dijanjikan tersebut.
Sehubungan itu, dalam pernyataan sikapnya, PP ‘Aisyiyah mendesak KPU, Bawaslu dan DKPP untuk segera merealisasikan janjinya kepada masyarakat Indonesia dan gerakan keterwakilan perempuan untuk merevisi ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2018. Lalu, mengembalikannya pada ketentuan yang sejalan dengan Pasal 245 UU 7/2017, yakni “Dalam hal penghitungan 30% (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.”
PP ‘Aisyiyah juga mendesak seluruh pihak terkait agar mampu mewujudkan dan memenuhi keterwakilan perempuan dalam komposisi Tim Seleksi ataupun keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Serta menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam Peraturan KPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan dalam pengisian keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Demikian halnya Bawaslu beserta jajarannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu harus mengimplementasikan affirmative action untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Tidak hanya itu, KPU, Bawaslu, dan DKPP, juga harus menyusun kebijakan tata kelola organisasi penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan, implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya.
Terakhir, PP ‘Aisyiyah menuntut KPU mendorong partai politik untuk secara aktif membuka peluang seluas-luasnya kepada caleg perempuan di partai politiknya melalui kebijakan affirmative action. Partai politik juga harus berkomitmen meminimalisir pencalegan yang berbiaya tinggi (high cost) serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote getter semata. (*)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow