Pemeran dan Sutradara Dirty Vote Kunjungi UMY: Apa Langkah Selanjutnya Setelah Pemilu?
YOGYA - Film ‘Dirty Vote’ yang diluncurkan di YouTube menjelang Pemilu 2024 rupanya menjadi perhatian dan perbincangan publik Indonesia. Dalam film dokumenter berdurasi lebih dari 1 jam itu membahas seputar praktik kecurangan Pemilu 2024 yang dilakukan oleh beberapa pihak hingga adanya campur tangan pemerintah mendukung salah satu paslon dalam hajat pesta demokrasi 5 tahunan itu.
Lalu, setelah Pemilu 2024 berlangsung, muncul pertanyaan: ‘Setelah Dirty Vote, selanjutnya apa yang akan dilakukan?’ Menjawab hal itu, tiga pakar Hukum Tata Negara (HTN) sekaligus pemeran utama dan sutradara Dirty Vote pun buka suara saat berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (19/2) malam.
Mulai dari, Feri Amsari, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND) mengatakan bahwa film Dirty Vote ini adalah sebuah kampanye versi rakyat yang ia yakini bersama koleganya tidak melanggar hukum.
Feri menerangkan kalau Pemilu ini tentang perjuangan “demi keluarga” dan dalam pertarungan politik ini kita diperlihatkan dalam sistem presidensial di Indonesia ini, ada orang kampanye pakai jaket hanya untuk menghibur, agar mereka suka atau memilih karena jaket. Bukan tentang apa yang sudah pernah dia kerjakan dan apa yang dia mau kerjakan.
“Oleh karena itu, ada keinginan dan hasrat memastikan seseorang bisa terpilih. Bahkan menjelang pertarungan di bulan yang baru, tidak lumrah sebuah konsep atau aturan main dalam sebuah pertandingan diubah menjelang pertandingan,” ujar Feri.
Lalu, Bivitri Susanti melihat film ini adalah pemicu bagi semua orang untuk menginterpretasikan pemikiran atau keresahan terhadap sebuah kecurangan yang terjadi di Pemilu. Tak lupa juga memikirkan seperti apa tindak lanjutnya.
“Jadi kami juga tentu saja kami melakukan upaya-upaya seperti road show ini untuk menguatkan pemicu. Nggak cuma pas di YouTube terus selesai gitu, tapi kami ingin mengajak kawan-kawan semua untuk berdiskusi,” ucapnya.
Dosen STHI Jentera itu juga menekankan bahwa politik yang baik adalah politik yang punya nilai-nilai dan keadaban. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh para tokoh pendahulu kita, seperti Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir yang justru berpolitik dengan keren dan harusnya bisa menginspirasi generasi saat ini.
Bahkan, Bung Hatta dalam sebuah pidatonya waktu diberi gelar Doktor Kehormatan di Universitas Indonesia mengatakan soal tanggung jawab intelektual yang pertama jadi politikus adalah intelektual yang ingin mengangkat semua rakyat menjadi intelektual juga. Jadi cara-cara berpolitik yang dilakukan juga harus secara beradab dan mengandung nilai-nilai.
Pada kesempatan ini, Bivitri ingin mengajak semua mahasiswa dan masyarakat agar setelah Pemilu mulai membongkar masalah yang terjadi, seperti pendidikan dan politik.
“Kalau teman-teman punya organisasi punya komunitas-komunitas pendampingan dan berjejaring, kita coba bikin pendidikan politik yang membebaskan dengan pendidikan politik kritis yang basisnya bukan 5 tahun sekali saja,” ajaknya.
Bahkan, ia mempersilahkan bagi siapapun yang ingin buat film tandingan atau diskusi lanjutan dengan tema yang tak jauh beda soal Pemilu.
“Sekali lagi, film ini adalah pemicu, jadi teman-teman silahkan tanggapi atau bikin film tandingan, diskusi lanjutan dan lain sebagainya. Itulah tujuan kami, bukan tujuan mau mendongkel siapapun atau mau nyuruh teman-teman milih siapa, itu nggak ada,” jelasnya.
Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), meminta semua mahasiswa dan masyarakat agar jangan kemudian alergi kepada politik, seakan bahwa politik harus dijauhi karena politik adalah kotor.
Justru ini jadi kesempatan untuk menunjukkan bahwa kita harus mengambil porsi di wilayah politik, dengan menjadi pemilih yang cerdas dan pembimbing yang berdaya serta jadilah warga negara yang bisa menentukan.
Tetapi yang paling penting dari semua proses ini bahwa Indonesia tidak boleh jatuh ke tangan neo-otoritarianisme. “Sepanjang kita kolektif berupaya menghalangi rezim tidak demokratis, merampas hakikat lalu kemudian kita menghalangi neo-otoritarianisme dan demokrasi yang tanpa oposisi,” tegas Feri.
Menyambung ketiga pakar tersebut, Dandhy Laksono selaku Sutradara Dirty Vote Tetap berharap semuanya perlu meneruskan kerja critical thinking dan di situ kuncinya. Ia merasa project film ini berkesinambungan dengan film-film sebelumnya.
“Saya merasa pemilu ini adalah sebuah titik di mana kita akan memberikan mandat baru itu dilakukan dan proyek-proyek akan diteruskan. Jadi, ‘Dia’ minta restu kepada rakyat untuk proyek-proyek itu (dilanjutkan),” ucapnya.
Jadi, pemilu ini bukan sirkulasi elit atau prosedur demokrasi, Dandhy merasa hal-hal yang terjadi akan berpotensi membuat gaya pembangunan yang tidak ramah masyarakat kecil, sehingga karena itulah sistem kecil di Pemilu ini masih dicurangi lagi.
Hal inilah yang membuat energi besar bagi dirinya untuk buat film ini. Terkait narasumber, Dandhy menegaskan mereka tidak dibayar, sebaliknya rasa frustasi dan harapan agar kejadian ini tidak diulang. Serta mendukung para akademisi ini untuk memberi peringatan kepada para pelanggar.
Bahkan, kerusakan budaya politik sekarang ini yang menurutnya lebih serius dari kecurangan pemilu. Ini menjadi kejadian luar biasa karena konstitusi dikerjai seperti itu.
Terakhir sebelum menutup, Dandhy mengajak semua masyarakat, terlepas preferensi pilihannya berbeda, untuk menonton film ini sebagai warga negara. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow