Manusia Bayangan Tuhan di Bumi

Manusia Bayangan Tuhan di Bumi

Smallest Font
Largest Font

YOGYAKARTA — Jika Tuhan mencipta, manusia juga berkarya. Sebab hakikatnya, manusia itu bayangan Tuhan di muka bumi. Maka sejatinya, manusia ingin terus memproduksi karya, mencipta berbagai aplikasi untuk kelangsungan media sosialnya. Bagaimana jika postingan yang disebarkan bernuansa menggugah selera makan? Apakah konten-konten yang diproduksi dalam dunia entertain atau hiburan selama bulan suci Ramadhan dapat menjadi penyebab batalnya puasa kita?

Beberapa persoalan menarik tersebut dikemukakan pemirsa Sobat Rakosa FM kepada narasumber Dr. H. Robby Habiba Abror, S.Ag. M.Hum., Ketua MPI PWM DIY dan Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada acara “Ngaji Sore Ramadhan” bertema “Bijak dan Cerdas Bermedia Sosial” yang diinisiasi Lazismu DIY bertempat di Radio Rakosa FM Caturtunggal, Sleman, Rabu 21 April 2021.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Menurut Robby, tak dipungkiri bahwa media sosial telah melekat dalam diri setiap orang. Tiap orang dapat berinteraksi sosial di dunia maya dengan sesamanya, jamaahnya, dan juga orang lain di luar komunitasnya. Pikiran dapat bertindak bebas sesuai minat pemilik gawai atau gadget. Pikiran yang dituangkan dalam kemasan produk-produk yang sedang dijualbelikan, sejauh tidak menggiring hawa nafsu kepada kemaksiatan, dapat dibolehkan.

Kebebasan yang ditawarkan media sosial, sebenarnya seperti pedang bermata dua, yaitu memberikan banyak alternatif sekaligus mengurung jiwa. Bagaimana ini bisa terjadi? Jiwa punya hak untuk merenungi ciptaan Allah SWT dalam kedalaman hati dan lurusnya pikiran. Tetapi kesadaran ilahiah kadangkala dikalahkan kepentingan duniawi yang menggiring jiwa-jiwa yang mencari spirit transcendental tersebut dalam daya tarik duniawi yang tak pernah selesai.

Robby mengingatkan bahwa tanpa nalar kritis dan literasi iman yang kukuh, seseorang dapat terjebak dalam banyak bentuk kepalsuan dan sikap ketagihan yang tak terelakkan. Media sosial membuat apapun yang diproduksi menjadi tak bermakna, setidaknya keadaan simplifikasi atas rasa empati dan simpati direduksi hanya dalam simbol-simbol sesaat. Kepentingan ekonomi politik individu menjadi lebih dominan di atas nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

“Media sosial tak dapat ditampik keberadaannya. Ini menuntut setiap orang untuk bijak dan cerdas dalam hidup di dunianya yang baru itu,” imbuhnya. (hr)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow