Literasi Digital PP IPM dan LPPA PP ‘Aisyiyah Hadirkan Influencer dan Aktivis

Literasi Digital PP IPM dan LPPA PP ‘Aisyiyah Hadirkan Influencer dan Aktivis

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Literasi Digital yang diadakan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PP ‘Aisyiyah menghadirkan influencer dan aktivis persyarikatan sebagai narasumber, Sabtu (9/10). Kegiatan itu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Mengambil tema “Pelajar Cerdas Digital untuk Indonesia Berkemajuan” acara melalui teleconference ini diikui lebih dari 700 peserta dan terdiri dari dua sesi acara yakni talkshow dan seminar.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Selain Fahd Pahdepie (CEO Inilah.com) dan Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D. (Ketua LPPA PP ‘Aisyiyah), beberapa narasumber lain adalah Kholida Annisa, S.E. (Ketua Bidang Lingkungan Hidup PP IPM), Rosa Kusuma Dewi Azhar, S.Pd., M.Si atau yang akrab disapa Teh Ocha (Influencer, MC TVRI), Hajar Nur Setyowati, S.S., M.A. (LPPA PP ‘Aisyiyah), serta Meti Puspitasari, S.Psi (Anggota Bidang PIP PP IPM).

Kholida menyampaikan topik “Budaya Digital: Pelajar Berdaya dan Berkarya”. Perempuan yang sudah menerbitkan beberapa karya jurnal ini menjelaskan secara detil data pemanfaatan ruang digital hari ini. “Pelajar termasuk yang mendominasi penggunaan internet,” tutur Kholida. Data yang disampaikan menunjukkan 66,2% pengguna internet di rentang usia 13-34 tahun.

Karena keterlibatan tersebut, terbentuklah budaya digital dalam gaya berperilaku, berpikir, dan berkomunikasi dalam dunia digital. Ciri-ciri masyarakat dunia digital antara lain ialah hidup berdampingan dengan teknologi, cenderung ingin kebebasan lebih, lebih ekspresif, menuntut kecepatan dalam berbagai hal, memiliki banyak sumber belajar, serta suka berbagi dan berjejaring.

Budaya digital yang lemah hari ini menyebabkan fenomena-fenomena mengerikan seperti ujaran kebencian, hoax, bullying, penjualan data, ataupun childgrooming (orang-orang menggoda secara online).

“Kasus childgrooming sampai 236 kasus pada tahun 2019,” jelas Kholida. Ia mengingatkan, negara melindungi kebebasan berekspresi, tapi bukan tanpa batas.

Teh Ocha berbagi materi “Etika Digital Pelajar Berkemajuan”. Ia mengatakan, “Saya bermedsos maka saya ada.” Batas di ruang digital adalah etika atau akhlak.

“Soal etika ini gampangnya, sesuatu yang bisa dikatakan baik, bermanfaat buat orang,” jelas Ocha. Contoh, ketika menghubungi guru atau dosen menggunakan kata sapaan, mohon maaf, doa kesehatan, dan sebagainya.

Ia mengingatkan juga adanya algoritma di ruang digital. Apapun yang di-follow di media sosial akan menunjukkan hasil-hasil yang berdekatan. Maka kalau seseorang membagikan hal-hal negatif, akan terus muncul hal-hal negatif lain di ruang digitalnya. Sehingga penting untuk terus memulai menularkan konten-konten positif dalam ruang digital.

Hajar NS berbagi materi “Digital Safety: Perspektif Milenial”. Pemateri yang juga Pemimpin Redaksi majalah Suara ‘Aisyiyah ini mengajak peserta menggunakan platform mentimeter.com dan berpartisipasi menyebutkan kejahatan di media sosial yang diketahui.

Rupanya beragam fenomena disebutkan peserta. Di antaranya adalah hack, bullying, penipuan, dan sebagainya. Hajar memberikan penekanan pada salah satu kasus yang ingin secara khusus ia jabarkan, yakni KBGO alias Kekerasan Berbasis Gender Online.

“Itu tindakan kekerasan kepada perempuan dan anak melalui dunia digital,” jelasnya. Parahnya, kejahatan ini biasanya dilakukan oleh orang terdekat seperti pacar atau mantan pacar.

Antara lain, grooming (pendekatan untuk memperdaya), morphing (mengunduh/mengedit gambar tanpa izin dan mempostingnya), pelecehan (pengiriman teks untuk mengganggu/menyakiti), dan tracking/cyber stalking (menguntit aktivitas korban dan menciptakan rasa tidak aman).

Lainnya adalah sexting (mengirimkan gambar intim atau pesan yang bernada seksual), illegal content (memasukkan data tidak benar), online prostitution (pornografi online), serta revenge porn (menyebarkan foto atau video intim tanpa izin).

Apa yang bisa dilakukan korban? Pertama, dokumentasikan bukti. Kedua, hubungi individu yang dipercaya atau lembaga bantuan. Ketiga, korban dapat melapor dan memblokir platform online yang digunakan.

Pelajar juga bisa membangun dukungan untuk korban, membuat kampanye solidaritas, menjadi teman korban bercerita, serta mendampinginya mengakses layanan bantuan yang dibutuhkan.

Materi selanjutnya disampaikan Meti, yang sedang studi profesi psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta, dengan topik “Skill Digital: Penghasil Content Creator untuk Pelajar”.

“Ada tetangga yang mikir ini kok ada orang nggak pernah keluar rumah tapi dapet duwit, ternyata kerjanya sebagai streamer,” tuturnya.

Di antara profesi populer saat ini adalah YouTuber, Selebgram, dan Streamer. Untuk menjadi YouTuber, seseorang perlu kreatif membuat konten, menyesuaikan minat pribadi dan komunitas, serta memiliki peralatan memadai. Begitupun, selebgram (selebriti Instagram) memiliki tipsnya sendiri, yakni: perbanyak followers, susun konten tertentu, dan tawarkan endorsement. “Ini biasanya dapet keuntungan kalau dapet endorsement,” tutur Meti. (*)

 Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow