Kisah Mimbar Bersejarah Umur 86 Tahun Milik PCM Kotagede

Kisah Mimbar Bersejarah Umur 86 Tahun Milik PCM Kotagede

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Kajian-kajian untuk menyiapkan koleksi Museum Muhammadiyah terus dilakukan. Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menjadi kepanjangan tangan Muhammadiyah untuk memegang amanah tersebut.

Rabu (2/2), Tim Museum Muhammadiyah MPI PP Muhammadiyah mengunjungi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kotagede. Tiga anggota disambut Drs. H. Darwinto Nawawi, Ketua PCM Kotagede.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Kegiatan tersebut untuk mendiskusikan mimbar bersejarah yang dimiliki PCM Kotagede, salah satu cabang Muhammadiyah tertua. Menurut Darwinto, mimbar yang telah ada sejak tahun 1936 ini memiliki kisah menarik.

“Dulu ada seorang da’i dari Kotagede, namanya Mbah Kaji Ridwan. Beliau berdakwah sampai Palembang. Pulang-pulang, oleh-olehnya logo ini,” tuturnya sambil menunjuk papan kayu berbentuk lingkaran yang disebutnya logo. Saat di Kotagede, dibuatkan mimbar untuk memasang logo tersebut.

Gambar itu kemudian menjadi logo Majelis Tabligh, walaupun saat ini sudah berganti. Mimbar yang dibuat dari kayu jati milik Mbah Kaji Ridwan itu pun dihibahkan kepada PCM Kotagede.

Selanjutnya, mimbar tersebut secara rutin digunakan untuk khutbah ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha yang dilaksanakan PCM Kotagede di Lapangan Karang. Setelah pandemi melanda, tidak pernah lagi dilakukan. Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, pun sempat menggunakannya saat menjadi imam salat ‘Id di Kotagede.

Diskusi ini dianggap perlu karena bagi Tim Museum, Kotagede merupakan salah satu cabang bersejarah. “Alhamdulillah kita dapat informasi tentang mimbar ini. Salah satu bukti gerakan Muhammadiyah yang sudah modern banget,” tutur Muhammad Ichsan Budi PR, S.S., kurator Museum Muhammadiyah.

Dulu, lanjutnya, mimbar di masyarakat Indonesia khususnya Jawa, terkesan sakral. Bentuknya tidak seperti yang saat ini sering terlihat, lebih banyak ukiran. Muhammadiyah menginisiasi bentuk mimbar yang lebih praktis dan profan. Juga, mulai mengenalkan pelaksanaan salat ‘Id di lapangan.

Mengenai mimbar ini, Tim Museum tidak serta merta mengambil atau meminta untuk dijadikan salah satu koleksi museum. “Kami serahkan ke PCM dulu biar dirembug dulu. Kami selaku yang nyuwun nanti ndherek hasil musyawarahnya,” tutur Ichsan.

“Penghimpunan koleksi itu sifatnya beragam,” jelasnya. Ada yang berupa hibah atau wakaf, pinjaman, pembelian, atau izin pembuatan replika. Sejauh ini, dari semua bentuk penghimpunan, Muhammadiyah lebih banyak menerima hibah, pinjaman, serta izin replika. Belum ada sama sekali koleksi yang harus diusahakan lewat pembelian.

Tim Museum akan menghormati keputusan PCM Kotagede. “Pimpinan Pusat tidak akan ada sejarah apa-apa tanpa adanya wilayah, cabang, dan ranting,” imbuh Ichsan.

Ia mengharapkan, musyawarah di cabang dapat berlangsung matang agar pada kepengurusan saat ini maupun kelak kemudian hari, tidak ada kesalahpahaman tentang kepemilikan koleksi.

Di ujung diskusi, Ichsan juga mengatakan bahwa nantinya juga memungkinkan untuk diadakan tukar menukar dokumen sejarah. Saat ini, Tim Museum Muhammadiyah telah memiliki dokumentasi foto RS PKU Kotagede ketika pertama kali dibangun serta foto penyerahan kenang-kenangan dari PCM Kotagede saat Muktamar ke-31.

Kotagede memang menyimpan banyak cerita menarik tentang perjalanan Muhammadiyah. Misalnya, Brosur Kotagede yang merupakan salah satu majalah tertua selain Suara Muhammadiyah dan Suara ‘Aisyiyah.

Darwinto menyebutkan, beberapa tokoh yang lahir dan tumbuh sebagai aktivis Brosur Kotagede, seperti Mustofa W. Hasyim dan Ahmad Charris Zubair. “Saat ini, Brosur Kotagede jadi ladang berlatih anak-anak muda. Semuanya yang menangani anak-anak muda,” tambahnya. (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow