Ketua PP Muhammadiyah Prihatin Korupsi Subur di Tengah Masyakarat yang Religius
YOGYA – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. mengatakan bahwa korupsi merupakan suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Dari perspektif hukum, korupsi dipandang sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Hal itu adalah karena sesuai dengan arti kata korupsi itu sendiri, yaitu perusakan, korupsi merusak bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial dan moral masyarakat.
“Pemberantasan budaya korupsi merupakan conditio sine quanon bagi upaya pembangunan kehidupan masyarakat yang berkeadaban, berkesejahteraan dan berkeadilan. Korupsi berkontribusi besar dalam memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial dan ekonomi bangsa kita serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat,” tuturnya pada Rabu (10/4) dalam Khutbah Idulfitri 1445 H di Alun-Alun Selatan Yogyakarta.
Selain itu, Syamsul juga mengatakan bahwa masalah korupsi merupakan masalah multi dimensional dan upaya pemberantannya oleh karena itu harus bersifat multifacet.
Menurutnya, agama dapat difungsikan sebagai bagian dari keseluruhan upaya pemberantasan korupsi melalui pengelolaan batin dan kalbu guna mempertinggi kepekaan nurani untuk menyadari perlunya kita menjauhi hal-hal yang meskipun untuk sementara dapat memberikan kenikmatan sekejap. Namun dalam jangka panjang merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.
"Memang kita sering mendengar suatu ironi bahwa di tengah-tengah masyarakat kita yang dikatakan religius dan rajin menjalankan ibadah ternyata praktik korupsi tetap berkembang subur, sehingga tampak tidak ada korelasi berbanding terbalik antara semangat religius itu dengan praktik-praktik koruptif,” jelas Syamsul.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini juga menjelaskan bahwa semestinya semakin tinggi kesadaran beragama diharapkan semakin rendah tingkat korupsinya. Terkait, apakah ada sesuatu yang salah dalam cara kita beragama, ia memandang kemungkinan salah satu sebabnya adalah pengelolaan nurani dan batin kita yang tidak sebagaimana mestinya.
"Kita memang menjalankan ibadah secara rutin dan tekun, tetapi mungkin lebih bersifat mekanistik dan lebih merupakan kebiasaan yang baku atau hanya sekedar penampilan untuk pencitraan sehingga ibadah itu tidak ada ruhnya dan mata hati kita tetap terselubung dan tidak memiliki sensitivitas yang dalam,” ungkapnya.
Maka, untuk bisa mencegah korupsi ini, Syamsul memberikan 3 cara pengawasan. Pengawasan pertama dari Allah SWT, Dalam konteks ini dijelaskan bahwa pengawasan Allah dikonkretisasi melalui pengawasan hati nurani, karena Allah adalah Zat yang Gaib, tidak hadir secara fisik bersama manusia. Dia hadir melalui keimanan di dalam hati setiap orang beriman.
Oleh karenanya, pengawasan Allah diimplementasikan melalui penajaman kepekaan hati dan penguatan sensitifitas nurani orang yang beriman kepada-Nya.
"Pengawasan melalui kesadaran nurani ini amat penting dan tidak dapat dipisahkan dari dua aspek pengawasan lainnya. Dalam Islam hati nurani memiliki kedudukan penting termasuk sebagai sumber tindak pengawasan,” ujar Syamsul.
Kemudian, pengawasan Rasulullah SAW dapat dipandang sebagai pengawasan formal yang dilakukan secara institusional berdasarkan ketentuan hukum syariah. Rasulullah saw meninggalkan ajaran dalam wujud syariah yang merupakan kumpulan kaidah, norma dan petunjuk untuk menjalankan hidup dan berbagai aktifitas di dalamnya.
Pelaksanaan ajaran beliau dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan politik, hukum, dan penyelenggaraan birokrasi memerlukan pengawasan formal agar efektif, sistemik dan terarah.
Lalu, pengawasan orang-orang beriman, artinya pengawasan oleh masyarakat banyak atau dapat disebut sebagai pengawasan sosial. Pengawasan sosial dilakukan melalui penyampaian kritik yang sehat dan membangun serta pelaporan terhadap berbagai praktik koruptif dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan kita.
Di sisi lain, para pemangku kekuasaan diharapkan responsif terhadap kritik dan pelaporaan tersebut dan mempunyai niat baik untuk memperbaikinya sebagai bentuk tanggung jawab publiknya dan tidak merasa alergi menghadapi kritik tersebut.
Sedangkan, di sisi masyarakat sendiri, ia merupakan elemen penting yang harus memiliki kesadaran kritis serta tidak boleh apatis terhadap hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan berdampak terhadap kehidupan mereka.
Syamsul menilai, pengawasan masyarakat ini akan memperkuat dua unsur pengawasan lainnya yang telah dikemukakan terdahulu. Maka, ia berharap pelaksanaan puasa Ramadan selama satu bulan yang telah dijalani memberi hikmah yang besar kepada kita dan dapat menjadikan semua sebagai insan yang berkepribadian kuat dan berkarakter sensitif atas berbagai ketimpangan yang terjadi.
"Singkatnya menjadi manusia yang bertakwa, sehingga dengan begitu bangsa kita menjadi bangsa maju dan tangguh,” tandas Syamsul. (*)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow