ads
Kajian di Masjid IC UAD: Bagaimana Hukum Ponsel yang Memuat Aplikasi Qur’an?

Kajian di Masjid IC UAD: Bagaimana Hukum Ponsel yang Memuat Aplikasi Qur’an?

Smallest Font
Largest Font

BANTUL – Al Qur’an dan Al Hadits merupakan dasar hidup umat Islam. Tapi, masih banyak kaum muslimin belum banyak mengetahui tentang keduanya.

Kajian Rutin Ba’da Maghrib yang berisi tanya jawab agama kembali dihadirkan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Selasa (2/11). Bersama Ustadz H. Rahmadi Wibowo S., Lc., M.A., M.Hum. dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, diskusi tersebut menjawab berbagai kebingungan tentang Al Qur’an dan Al Hadits.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Ustadz Rahmadi juga Kepala Bidang AIK dan Layanan Sosial Keagamaan Lembaga Pengembangan Studi Islam (LPSI) UAD.

Bagaimana hukum ponsel yang memuat aplikasi Al Qur’an atau Al Hadits? Bagaimana adab membawanya? Misalnya saat di kamar mandi, sama seperti mushaf Al Qur’an?

Salah satu definisi Al Qur’an itu merupakan ayat-ayat Allah SWT yang tertulis dalam lembaran-lembaran. Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan hukum ponsel dengan aplikasi Al Qur’an dan hadist sama dengan mushaf, sehingga ketika masuk kamar mandi, maka ponsel harus diletakkan di luar.

Namun, sebagaimana yang diketahui ponsel hari ini sangat dibutuhkan dan memang digunakan untuk apapun, kapanpun, dimanapun. Prinsipnya, Al Qur’an harus dihormati.

Berdasarkan beberapa literatur, seseorang dapat membawa ponsel di kamar mandi, namun tidak membuka aplikasi tersebut. Meskipun dalam bentuk aplikasi, namun adab tetap perlu dijaga sebab substansinya tetap ayat-ayat Al Qur’an.

Mengapa Hadits Qudsi tidak dijadikan satu dengan Al Qur’an?

Secara substansi semua sumbernya Allah, cuma kemudian dibedakan. Ia mengawali jawabannya dengan menjelaskan bahwa terdapat empat jenis hadits yakni berdasarkan penuturnya yaitu Qudsi, Marfu’, Mauquf, serta Maqtuk.

Masing-masing memiliki penjelasannya. Untuk Hadist Qudsi atau sering disebut Hadist Ilahi, kandungan maknanya merupakan firman Allah SWT dan redaksi kata-katanya berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan, Hadits Marfu’ berasal dari ucapan, perbuatan, dan sifat Rasulullah SAW.

Hadits Mauquf juga menceritakan tentang ucapan, perbuatan, serta sifat beliau namun penelusurannya terhenti hanya sampai pada para sahabat. Terakhir, Hadits Maqthu’ yakni yang penelusurannya hanya sampai tabi’in atau generasi setelahnya.

“Kita perlu pahami bahwa Allah SWT menurunkan wahyu itu ada dua bentuk,” tuturnya. Yaitu, matluw (didapat melalui perantara malaikat Jibril) dan ghairu matluw (tidak dibaca malaikat Jibril).

Isi dan redaksi wahyu matluw, contohnya Al Qur’an, tidak boleh berubah. Berbeda dengan Hadist Qudsi yang merupakan wahyu ghairu matluw, ini disampaikan Rasulullah SAW dengan perkataan beliau. Sehingga kedua hal itu, memang berbeda dan terpisah.

Apakah hadist dhoif (lemah) bisa dijadikan dasar untuk mengerjakan sebuah ibadah atau fadhailul a’mal (amalan-amalan yang utama)?

Amalan itu bukan berisi soal akidah, seperti halal dan haram maupun ibadah. Para ulama sebenarnya jelas tidak sepakat dengan hadits dhoif karena dinilai lemah. Namun, tidak semua hadits dhoif lantas ditolak. Dari pengertiannya sendiri, hadits dikatakan lemah ketika tidak dapat terpenuhi syarat untuk menjadi hadits hasan. Apa saja syarat hadits yang dikatakan hasan?

  1. Sanad hadits bersambung dari perawi yang mengumpulkan hadits, ke gurunya, ke gurunya, ke gurunya lagi, hingga nanti sampai kepada Rasululllah SAW;
  2. Para perawi hadits itu merupakan orang-orang yang adil (beragama Islam dengan baik, sudah baligh akil, bukan pendusta);
  3. Para perawi hadits diketahui mempunyai hafalan yang baik dan tidak pelupa (meskipun kualitasnya tidak seperti pada hadits shahih); serta
  4. Tidak mengandung kejanggalan dan kecacatan.

Bagaimana menentukan bahwa suatu hadits dapat menjadi dasar? Ini tergantung hadits tersebut. Kalau ada hadits-hadits dhoif lain yang menguatkan maka dianggap sah dan diterima, asal syarat nomor dua di atas terpenuhi.

Sebuah hadits berbunyi, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak pandai menulis dan tidak pula berhitung. Satu bulan itu begini dan begini, yaitu kadang 29 hari, kadang 30 hari.’” (HR Bukhari). Pada konteks apakah Rasulullah bersabda tentang itu? Apakah itu bentuk batasan untuk rukyat supaya tidak kurang atau lebih dari jumlah hari tersebut? Serta, apakah hadits tersebut hadir berdasarkan wahyu?

Ustadz Rahmadi menjawab dari yang paling akhir terlebih dahulu. “Iya. Pasti,” jawabnya. “Apapun yang dari Rasulullah itu pasti informasi awalnya dari Allah SWT.” Baik itu Al Qur’an maupun hadits, kesemuanya merupakan wahyu Allah SWT.

Kemudian dalam rangka menerjemahkan maksud hadits, Ustadz Rahmadi berpesan untuk berhati-hati. Hadits itu bukan mengatakan bahwa umat Islam sama sekali tidak mempunyai budaya menulis dan berhitung

Itu menjelaskan bahwa umat Islam ketika itu belum banyak yang pandai menulis dan berhitung. Selain itu, juga bisa dipahami bahwa umat Islam tidak melakukan perhitungan terhadap benda langit yang seolah-olah menentukan nasib manusia. Seperti yang diketahui, pada masa setelahnya, umat Islam terdorong untuk belajar menulis dan berhitung.

“Semangatnya kemudian bukan menunjukkan bahwa umat Islam sampai kapanpun nggak boleh menulis, nggak boleh berhitung,” tuturnya. Dalam menyampaikan hadits tersebut, Rasulullah SAW menggunakan isyarat gerak tubuh untuk menunjukkan besaran angka 30 dan 29 yang kemungkinan besar lawan bicaranya ialah orang bisu atau tuli.

Secara konteks, saat itu seseorang menanyakan tentang jumlah bulan dalam Islam. Karena dalam peradaban manusia terdapat sistem kalender syamsyiah (matahari), qomariyah (bulan), atau campuran. Dari hadits ini, Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Islam menggunakan kalender bulan.

Di samping itu, hadits tersebut juga laksana mu’jizat. Di masa itu belum ada pengamatan, tapi setelah itu para ahli falaq muslim melakukan penelitian-penelitian, ternyata kalau bulan rata-rata 29 ½ hari.

Di masa Rasulullah SAW, karena umat belum pandai menulis dan berhitung, maka digunakan metode ruqyat. Hadits ini tidak kemudian menjadi dasar untuk mengatakan bahwa ilmu hisab itu dilarang, bahkan kebalikannya. Rasulullah SAW mendorong semangat umat Islam bahwa meskipun saat itu belum bisa menulis dan berhitung, maka suatu saat nanti akan bisa.

Bila tadi muncul pertanyaan apakah mungkin jumlah harinya kurang atau lebih dari itu, misalnya 28 atau 31 hari, jawab Ustadz Rahmadi, “Ya, mungkin, kalau cara menghitungnya tidak tepat.”  (*)

Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow