Inilah Tips Pulihkan Kondisi Psikologis Survivor Covid-19
YOGYA – Tema menarik kembali dihadirkan Muhammadiyah with You seri ke-363, Ahad (26/9) malam. Narasumber Ratna Yunita Setiyani S, M.Psi, Psikolog, mengupas tema “AADC (Ada Apa Dengan Covid-19): Antara Aku, Kamu, dan Shelte UNISA.” Shelter UNISA memanfaatkan asrama mahasiswa Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta sebagai shelter bagi pasien Covid-19. Ratna Yunita termasuk salah satu survivor Covid-19.
Dalam kajian yang diadakan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (PWM DIY) ini, Ratna Yunita berbagi pengalaman ketika terpapar virus corona pada Juli 2021.
Sebelum masuk materi, kegiatan diawali dengan sambutan H. Muhammad Isnawan, S.E., M.P.H., Wakil Ketua PWM DIY. “Semoga materi ini menjadi bekal untuk kita supaya semangat dalam menghadapi Covid,” harapnya. Update kasus corona yang saat ini terus menurun dari waktu ke waktu menjadi sebuah tanda baik.
Ratna, psikolog klinis di Halodoc dan Rumah Sakit Rajawali Citra, memulai cerita perjalanannya. Mula-mula ia merasakan demam tinggi sampai 39 derajat lebih sekitar pertengahan bulan Juli. “Saya pikir awalnya kecapekan,” tutur dosen yang juga penulis itu.
Kebetulan saat-saat itu ia memang sedang sangat sibuk hingga kerap begadang. “Mungkin Allah mau menegur saya karena di tengah-tengah sibuk, tidak sempat baca Al Qur’an, padahal biasanya iya,” kenangnya.
Ratna sempat meminum obat paracetamol yang di waktu biasa akan membantu meredakan demam. Ternyata demamnya kembali lagi. Ia mengaku sering dibuat tiba-tiba was-was dan deg-degan tiap kali rumahnya yang berada di depan jalan raya itu dilalui ambulans.
Sebagai psikolog, Ratna memahami bagaimana melakukan relaksasi seperti self-talk. Tapi ternyata tiap terdengar suara ambulans, ia kembali deg-degan.
Setelah tiga hari demamnya tidak turun, akhirnya Ratna ditemani sang suami memeriksakan diri dan melakukan tes swap antigen tanggal 12 Juli. Ternyata betul, ia dinyatakan positif Covid-19.
Sebetulnya dokter mengatakan gejalanya ringan, mungkin karena Ratna sebelumnya sudah divaksin, sehingga tidak masalah kalau akan isolasi mandiri di rumah. Namun usai berdiskusi dengan beberapa teman, ia memutuskan ke shelter UNISA supaya lebih aman bagi keluarga.
Tanggal 16-23 Juli, Ratna mengaku merasakan beberapa gejala seperti anosmia, yaitu tidak bisa mencium baru. Badannya juga mulai mudah lelah dan nafsu makan menurun. Namun ia memaksakan diri tetap makan karena mengingat anaknya di rumah tentu menunggunya.
Berada jauh dari rumah membuatnya bersedih. Untuk melipur rasa rindu dengan keluarga, perempuan tiga anak ini sering melakukan video call dengan orang-orang di rumah.
Sebenarnya Ratna merasa sedih karena di momen ‘Idul Adha harus merayakan sendiri di shelter. Namun, ia banyak berefleksi dan menyadari ternyata di balik ujian terdapat banyak nikmat. Kesedihan merayakan ‘Idul Adha di shelter seketika dihapus oleh kabar pengumuman bahwa artikel yang ditulisnya diterima dan masuk dalam buku Membaca Muhammadiyah.
Di shelter UNISA ini secara tidak langsung Ratna didorong belajar bersabar dan toleran terhadap teman lain. Kadang pada malam hari saat waktunya tidur, sering kali terdengar di kamar lain ada pasien batuk-batuk bahkan sampai akhirnya muntah. Ia yang biasanya tidak kuat melihat orang muntah bahkan menyebabkan tidak mood makan, kini belajar menyesuaikan karena menyadari mereka sama-sama sedang diuji.
Selain itu, Ratna merasa senang karena saat di shelter dimintai bantuan menjadi instruktur senam. Ia merasa meskipun tidak berada di rumah maupun di tempat kerja, tetap bermanfaat.
Menariknya, ketika menjadi pasien di shelter Ratna tetap menjalankan peran sebagai konselor bagi pasien lain, baik secara langsung maupun melalui chat. Sering kali tiba-tiba ada teman yang curcol alias curhat colongan.
Ratna Yunita menyampaikan tips memulihkan kondisi psikologis para survivor Covid-19:
Pertama, dengan resiliensi (mampu menyesuaikan). Ini diartikan juga sebagai daya tahan terhadap stres. Ratna mengatakan, “Nangis satu dua hari gak papa, tapi habis itu selesai.”
Kedua, menyadari adanya lingkaran kendali dan perlunya growth mindset. Tidak perlu memusingkan hal-hal di luar kendali diri dan hanya pikirkan hal-hal yang membuat bertumbuh ke arah positif.
Ketiga, breathing (pernapasan) dan mindfulness (kesadaran penuh). Di sini dijelaskan pentingnya mengatur napas sehingga tidak mudah deg-degan serta menjaga kesadaran agar tidak memikirkan hal-hal di luar apa yang mestinya menjadi fokus, yaitu kesehatan tubuh.
Keempat, instilling hope. Ratna bercerita bahwa ia berulangkali menanamkan harapan pada dirinya sendiri melalui sugesti-sugesti positif dan itu begitu membantu.
Sebelum materi ditutup, ia memberikan contoh metode relaksasi yaitu butterfly hug yang bisa dilakukan seseorang dengan menempatkan tangan kanan ke bagian pundak kiri dan tangan kiri ke pundak kanan. Sehingga seolah-olah orang itu seperti memeluk dirinya sendiri. Lalu, ia bisa menepuk-nepuk pundaknya sendiri dan memberi sugesti baik untuk dirinya.
“Kalau orang muslim bisa sambil istighfar,” tutur Ratna yang menyelesaikan isoman di shelter pada tanggal 23 Juli. (*)
Wartawan: Ahimsa W Swadhesi
Editor: Heru Prasetya
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow