HUT Kemerdekaan RI, Pak Haedar: Jangan Sampai Fisik Maju, tapi Keropos Rohani
YOGYA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, mengajak seluruh komponen bangsa untuk mensyukuri hari kemerdekaan yang dilaksanakan rutin pada 17 Agustus.
Merayakan kemerdekaan adalah dengan mensyukuri nikmat termahal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sekaligus mengenang perjuangan mujahid pejuang bangsa dan negara yang nir-pamrih dengan jiwa dan raga mereka.
Penegasan tersebut disampaikan Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (29 Muharram 1445 H bertepatan 16 Agustus 2023).
Perjuangan para mujahid adalah bagian dari lembar-lembar sejarah Indonesia yang tidak boleh dilupakan. “Maka ketika hari ini kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-78, selain kegembiraan, kita perlu merefleksi secara mendalam baik bagi seluruh elit maupun warga bangsa di struktur pemerintahan, komponen bangsa, dan kekuatan-kekuatan bangsa,” tegas Haedar.
Agar kemerdekaan menjadi momentum kolektif bangsa Indonesia, menurut Haedar, perlu melakukan beberapa hal.
Pertama, refleksi atas segala perjuangan para mujahid pejuang sekaligus pendiri Indonesia yang telah berkorban banyak hal, termasuk nyawa. Bangsa Indonesia saat ini, termasuk elite bangsa dan seluruh warga bangsa, hendaknya mendalami dan meresapi setiap pengorbanan para pendahulu.
Penyerapan semangat tersebut diharapkan menjadi pondasi dalam berjuang dengan tulus untuk membangun, mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara merdeka, adil dan makmur, seperti dalam UUD 45.
“UUD 1945 sebagai pesan konstitusional untuk generasi pasca kemerdekaan. Itulah tasyakur kita, bentuk kesyukuran lebih dari sekadar kegembiraan dan hal-hal simbolik,” imbuhnya.
Kedua, merekonstruksi nilai-nilai luhur UUD 1945 dan Pancasila, yang menjadi pondasi, alam pikiran, dan orientasi tindakan dari bangunan dasar Indonesia Merdeka.
Haedar berpesan supaya nilai-nilai luhur tersebut dihayati, dipahami, dan tidak kalah penting dijalankan, serta menjadi bingkai dan arah dalam menyelenggarakan kebangsaan dan kenegaraan.
“Jangan sampai kita membawa Indonesia maju secara fisik, tetapi keropos rohani dan jiwanya,” tandas Haedar.
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menegaskan, supaya jangan sampai perayaan simbolis dan seremonial kemerdekaan tidak dibarengi dengan pemaknaan kembali nilai-nilai mendasar yang menjadi pondasi, bahkan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan itu diharapkan Indonesia jelas arah dan tidak berbelok.
Ketiga, melakukan konsolidasi kebangsaan. Nilai-nilai dalam Pancasila harus dikonsolidasikan menjadi nilai yang hidup dalam seluruh proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Termasuk kewajiban konstitusional dari pusat sampai bawah.
Keempat, melakukan transformasi kehidupan kebangsaan. Tantangan dunia saat ini ke depan yang kian kompleks memerlukan transformasi, termasuk merespon daya saing, perubahan global dengan berbagai masalah seperti perubahan iklim, tata geopolitik ekonomi, budaya yang bersifat kompleks.
Dengan segala bentuk tantangan yang dihadapi Indonesia, Indonesia harus mampu berdiri tegak dengan yang disampaikan Bung Karno yakni Trisakti.
Indonesia punya kepribadian, kemandirian-berdikari dan dengan nilai agama, Pancasila dan budaya luhur bangsa. Indonesia bisa menjadi bangsa yang sejati di tengah persaingan yang tinggi.
Membangun fisik sekaligus membangun jiwa. Jangan sampai Indonesia kuat raga fisiknya, tapi lemah jiwanya. Apalagi fisiknya tidak kuat, fisiknya rapuh.
Selain berpatok pada konstitusi dan nilai-nilai utama bangsa dan negara, Indonesia akan maju dan berjati diri jika disertai teladan kenegarawanan para elite.
Usia kemerdekaan yang ke 78 tahun Indonesia akan menjadi tonggak Indonesia unggul-berkemajuan bersama bangsa dan negara lain, di atas pondasi bangsa Indonesia. (*)
Wartawan Affan Safani Adham
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow