Atasi Perubahan Iklim, Seminar LH IMM DIY Dorong Kesadaran Diri dan Kolaborasi
YOGYA - Kondisi perubahan iklim yang terjadi saat ini semakin meresahkan. Terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), cuaca panas yang terjadi menimbulkan rasa tidak nyaman bagi masyarakat, sekalipun memasuki masa peralihan Oktober - November dan sempat beberapa kali terdapat hujan.
Dalam Seminar Lingkungan Hidup yang digelar DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY, hari Rabu (8 Jumadil Awwal 1445 H bertepatan 22 November 2023) di Hotel Cavinton Yogyakarta, beberapa penyebab, akibat, dan solusi digali secara rinci untuk bisa memahami dan mengatasi masalah iklim ini.
Sebagaimana diketahui, perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca dan perubahan terkait di lautan, dan lapisan es yang menentukan iklim lokal, regional, dan global di bumi, serta terjadi dalam skala waktu berpuluh-puluh tahun atau lebih. Aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca yang memerangkap panas dari pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dan perubahan penggunaan lahan turut menjadi pendorong utama perubahan iklim yang terjadi di era industri
Mengukur perubahan iklim ini penting supaya bisa memahami iklim serta variabilitas dan perubahan iklim di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. “Kita juga dapat memahami bagaimana perubahan iklim memengaruhi sistem sosial dan merencanakan langkah adaptasi untuk mengatasi dampaknya,” kata Prof. Dr. Ir. Mohammad Nurcholis, M.Agr, selaku anggota Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.
Proyeksi dari dampak perubahan iklim juga terjadi di Indonesia. Dimana debit air bisa meningkat dari 14 persen pada tahun 2010 menjadi 20 persen pada 2030. Bahkan pada 2050, diperkirakan karena perubahan iklim, tangkapan ikan akan menurun hingga 29 persen, populasi burung menurun hingga 60 persen.
Dari dampak perubahan iklim pada 2050 pula, probabilitas keterlambatan hujan meningkat hingga 40 persen. Suhu juga diprediksi meningkat 1 derajat celcius sehingga berakibat pada turunnya produktivitas hingga 25 persen dan kebutuhan listrik sebesar 8,5 persen.
Bahkan, ketersediaan pangan juga terancam akibat perubahan iklim hingga meningkatkan risiko kelaparan dan malnutrisi anak hingga 20 persen. “Karena sistem pangan secara signifikan mendorong sekaligus dipengaruhi oleh perubahan iklim dan ketersediaan air,” jelas Ratih Anggraini, Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia.
Ratih memaparkan ⅓ emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh pertanian dan pangan, pertanian sendiri sudah menggunakan 70 persen dari ketersediaan air tawar. Ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di urutan ke 69 dan akan terancam krisis pangan pada tahun 2050.
Bagaimana mengatasi dampak perubahan iklim ini? Ratih menjelaskan bahwa kolaborasi dan inovasi dari semua pihak sangat penting untuk menyelesaikan perubahan iklim. Salah satunya dengan aksi pengurangan emisi karbon, dimana sampah - sampah plastik didaur ulang, efisiensi energi, pertanian regeneratif, konservasi keanekaragaman hayati, dan penggunaan energi terbarukan macam biogas dan biomassa.
Sementara itu, Nurcholis mengatakan jika pemerintah harus membuat undang - undang dan kebijakan yang mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca, serta pelaku usaha wajib mengubah proses operasional agar berkelanjutan.
“Adapun dari diri kita sendiri bisa membuat pilihan dengan mengurangi jejak karbon dan ikut menyuarakan kepada semua orang agar bertindak cepat mengurangi perubahan iklim,” ujar Guru Besar Ilmu Tanah UPN “Veteran” Yogyakarta itu.
Apalagi dalam Conference of The Parties atau COP21 di Paris tahun 2015, negara - negara sepakat bersama untuk mengatasi perubahan iklim dengan membatasi kenaikan suhu global hingga 2 derajat celcius dan memulai upaya membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat celcius. Dari sini, diluncurkanlah konsep “Net Zero” pada tahun 2050, artinya setiap emisi karbon harus diseimbangkan dengan menghilangkan karbon dioksida dari udara.
Begitu juga dengan COP26 di Glasgow tahun 2021, negara - negara partisipan sepakat mengurangi konsumsi batubara sebagai sumber energi dan pengurangan subsidi untuk energi berbahan bakar fosil.
Maka, untuk bisa mencapai hal tersebut, semua pihak harus kolaborasi, baik pemerintah pusat, daerah, dan lembaga non - pemerintah, termasuk Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang menurut Kementerian PPN/Bappenas mempunyai lahan garap di 4 ranah, yakni pesisir dan kelautan, pertanian, air, dan kesehatan.
“Muhammadiyah perlu melakukan kajian multidisiplin terhadap permasalahan karakteristik fisik dan sosial kemasyarakatan. Mahasiswa Muhammadiyah sebagai civitas akademika dapat berperan aktif secara konseptual dan aksi untuk amar ma’ruf nahi munkar dalam menjaga kelestarian bumi sebagaimana dituntunkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah,” tandas Nurcholis. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow