Tak Mau Insiden Pemilu 2019 Terulang, PP Pemuda Muhammadiyah Usung Pemilu Guyub
SLEMAN - Pemilu 2024 tinggal 14 hari lagi. Hari-hari menjelang maupun sesudah pemilu jadi saat-saat yang rawan terhadap keberagaman, yang mana merupakan salah satu nilai dalam multikulturalisme dan identitas Keindonesiaan. Hal ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan atas kepentingan yang dapat mengaburkan esensi ideal keberagaman itu sendiri yang berdampak pada kondusifitas bangsa dan negara.
Indonesia sebagai negara demokrasi tentunya menjadikan pemilu sebagai mekanisme pergantian kekuasaan kepada perwakilan (eksekutif dan legislatif-red). “Dalam konteks multikulturalisme, pemilu kerap menjadi ruang penyalahgunaan kepentingan (politisasi identitas) yang menyebabkan disintegrasi di dalam masyarakat,” ucap Sandro Andriawan, S.H., M.H., Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah di Focus Group Discussion 'Peran Publik dalam Mensukseskan Pemilu Damai 2024' di Eastparc Hotel, Jl. Laksda Adisucipto, Depok, Sleman.
Sandro mencontohkan kejadian saat Pemilu 2019, yang seharusnya menjadi ruang bagi bangsa Indonesia untuk merayakan keragaman. Namun sayangnya, arus politik yang kuat dan juga mengakar akhirnya menjadi konflik sosial dan terjadi perpecahan di tengah masyarakat. Konflik horizontal dari nasional hingga lokal yang terjadi dan berdampak pada kondisi sosial masyarakat.
Menurut laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), disebutkan kalau Indonesia masuk pada indikator Demokrasi Terbatas (Flawed Democracy). Tahun 2022, Indonesia mendapat skor 78,22 pada aspek kelembagaan demokrasi, meningkat sedikit dari tahun 2021 dengan 78,12. Dalam konteks pemilu, terdapat sebuah sentimen polarisasi yang memicu sebuah kondisi politik di Indonesia yang berkontribusi dalam terbatasnya ukuran demokrasi di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Sandro membawa spirit Pemilu Guyub pada 2024 ini. Guyub dalam bahasa Jawa artinya,rukun dan mempunyai esensi kebersamaan tanpa memandang siapa dan apa. Sandro memandang, pemilu harus dimaknai sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kebijakan yang bermanfaat untuk menciptakan inklusivitas dalam proses demokrasi.
“Pemilu Guyub sebagai nilai yang harus diinternalisasi ke dalam prinsip sosial masyarakat,” ujarnya.
Untuk bisa mewujudkan Pemilu Guyub, keberadaan multikultural dalam identitas keindonesiaan harus bisa menjadi “penyeimbang” pada realitas sosial kemasyarakatan baik di tingkat nasional dan lokal. Di satu sisi, tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai figur yang dipercaya dan berperan sebagai aktor intelektualisme yang dapat mengintegrasikan nilai ketuhanan secara menggembirakan terhadap nilai kemanusiaan.
Bicara soal potensi kerawanan di Pemilu 2024, terdapat beberapa tindakan yang menjadi paling berpotensi dan rawan terjadi berkaitan dengan pemilu guyub untuk diantisipasi secara bersama. Mulai dari politik uang, dimana transaksi jual beli suara dalam pemilu yang dapat merusak legitimasi calon terpilih terhadap pemilih.
Kemudian, politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan hal ini sangat mudah dipolitisasi oleh kepentingan politik dan menjadi ancaman kesatuan dan persatuan bangsa. Ditambah, munculnya berita palsu (hoax) dan ujaran kebencian telah menjadi strategi ilegal yang banyak digunakan untuk merusak reputasi atau menjatuhkan lawan politik, dengan adanya fenomena buzzer sebagai contoh yang sering ditemui.
Untuk membentuk opini publik yang positif dan membangun kepercayaan menjelang pemilu 2024, tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat mengambil langkah langkah strategis. Cara yang bisa ditempuh, seperti mobilisasi dengan mengorganisir atau membentuk tim relawan untuk menyampaikan pesan perdamaian, partisipasi politik yang bertanggung jawab dan menjaga persatuan pasca pemilu.
Lalu, pendidikan multikultural lewat berkolaborasi secara aktif dalam program atau forum untuk edukasi pemilih dan etika politik yang bermoral yang menjunjung tinggi heterogenitas atau keberagaman. Pemanfaatan media digital juga penting untuk mencegah dan mengkampanyekan pesan positif pemilu di ruang digital dengan membentuk forum/grup untuk memperluas jejaring.
“Selain juga peringatan bersama melalui acara keagamaan bersama dan doa lintas agama untuk merayakan keragaman dan membangun kedamaian pemilu,” tambah Sandro.
Dari kacamata Sandro, Pemilu adalah gerbang awal kualitas demokrasi di Indonesia akan diuji. Bukan sekadar proses formal, tetapi telah menjadi sebuah proses atas refleksi nilai nilai, integritas, dan aspirasi politik masyarakat secara utuh. Masing-masing warga negara memiliki peranan dalam menciptakan pemilu guyub.
Maka, kolaborasi dan harmonisasi yang menjadi identitas keindonesiaan menjadi potensi kekuatan yang harus kita jaga dan berhati hati dalam menyikapi untuk menciptakan persatuan dan kesatuan pasca pemilu. Sebab, segala potensi dan kerawanan pemilu terbukti bukan hanya menodai Demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI.
“Pemilu yang guyub dan damai ini sebuah hadiah bagi masyarakat, tidak hanya elit maupun politisi,” tandas Sandro. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow