Rembug Gayeng PWPM DIY: Kader Muhammadiyah Perlu Belajar Foto Jurnalistik

Rembug Gayeng PWPM DIY: Kader Muhammadiyah Perlu Belajar Foto Jurnalistik

Smallest Font
Largest Font

YOGYA – Untuk kelimakalinya Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengadakan agenda Rembug Gayeng. Pada Selasa malam (23/11), kegiatan daring ini mengupas tema “Kader Muhammadiyah Jago Foto Jurnalistik”.

Secara umum, materi terangkum dalam sub tema “Best Practices, Teknik Foto Jurnalistik untuk Media Sosial Ortom dan Persyarikatan”. Menghadirkan jurnalis foto Kompas yang pernah aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Heru Srikumoro.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

“Aku nggak tahu ya, tertarik aja di dunia jurnalistik,” tutur Heru. Dengan seabrek pengalaman sejak kuliah, ia mengaku pernah ditolak ketika mendaftar di media cukup terkemuka sebelum masuk di Kompas.

Sejak bergabung Kompas tahun 2004, laki-laki ini kerap meliput baik lokal maupun nasional. Tidak jarang kegiatan Muhammadiyah menjadi tanggung jawabnya untuk peliputan. Seperti Muktamar, Tanwir, atau kegiatan Muhammadiyah yang bersinggungan dengan pemerintah pusat.

“Wartawan foto atau jurnalis foto itu bukan tukang foto. Kita itu wartawan,” katanya. Perbedaan paling mendasar adalah seorang jurnalis foto punya dorongan tentang apa yang ingin disampaikannya melalui foto.

Sehingga proses belajar jurnalis foto tidak terbatas di soal teknis cara menangkap gambar seperti kelas fotografi, juga ada ilmu soal pengelolaan media, konten, tulisan, caption, dan sebagainya. “Kalau soal ISO, dan lain-lain, itu level SD,” tutur Heru.

Definisi foto jurnalistik, yaitu karya jurnalistik berbentuk visual atau foto yang bertujuan menyampaikan informasi kepada masyarakat. Mengutip pendapat jurnalis foto dari Prancis, Henry Cartier Besson, ia mengatakan foto dapat menyampaikan narasi atau cerita yang diangkat pada waktu tertentu.

Demi melakukan hal itu, penting bagi sebuah media untuk mengetahui dengan pasti tujuan dari platform tersebut. “Kita pernah bertanya ke follower akun kita nggak, sebenarnya mereka tuh pengin apa?” Termasuk juga melihat sebaran jumlah laki-laki atau perempuan, tingkat pendidikan, serta tingkat ekonomi. Ini untuk menyesuaikan konten dan bahasa yang akan digunakan untuk konsumen.

Heru juga memberikan kritik konstruktif terhadap beberapa media milik persyarikatan. Menurutnya, pengelolaan isi konten belum digarap secara serius, sehingga perlu ditingkatkan. Visi media agaknya masih kurang tampak.

Padahal, media sosial harus jadi sarana syiar dimana institusi lain akan sering mengacu pada konten-konten yang dibagikan. “Media itu wajah resmi sebuah lembaga,” imbuh Heru. Oleh karenanya, Muhammadiyah perlu mengoptimalkan upayanya mengelola media.

Meskipun pandemi Covid-19 ini mencuri berbagai kesempatan produktivitas, namun jangan sampai dijadikan alasan yang membatasi ruang gerak organisasi termasuk dalam pengelolaan media.

Materi berlanjut untuk mengupas karakteristik foto jurnalistik. Terdapat beberapa poin yang disampaikan narasumber, di antaranya bahwa dasar foto jurnalistik adalalah penggabungan antara gambar dan kata. Juga lingkupnya adalah menangkap gambar manusia.

Selain itu, wartawan atau jurnalis perlu memiliki kesadaran bahwa ia adalah wakil dari pembaca yang turut melihat langsung peristiwa. “Kita sering kecewa wah acara kita kok nggak ada yang ngeliput. Tapi nggak berpikir, berinisiatif acara ini diabadikan,” ungkap Heru yang secara implisit mengajak para peserta untuk berinisiatif mendokumentasikan kegiatan di tiap acara.

Karakteristik terakhir dari foto jurnalistik ialah pesan yang dihasilkan dari foto tersebut harus jelas dan mudah dipahami pembaca.

Heru menyampaikan tips ketika melakukan liputan dan menangkap foto. Pada hari H acara yang akan diliput, ia menyarakan wartawan untuk hadir di lokasi lebih awal sehingga dapat memetakan posisi terbaik untuk mengambil gambar dan merekam seluruh rangkaian acara.

Terkait teknis pengambilan foto sendiri, Heru memberikan tips yang ia sebut sebagai EDFAT yaitu sebuah singkatan dari entire, detil, frame, angle, serta timing. Pada poin entire, gambar haruslah dapat menangkap seluruh rangkaian acara. Itu juga perlu memberikan detil yang sesuai, dengan pertimbangan frame yang cukup, serta angle dan timing yang pas.

Di samping kualitas hasil foto, keterangan foto juga penting untuk menunjang informasi di dalamya. Caption atau keterangan foto baiknya dapat menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Rumus yang paling sering digunakan ialah 5W + 1H, yakni what (apa), who (siapa), when (kapan), where (dimana), why (mengapa), dan how (bagaimana).

“Hindari membuat narasi berupa opini,” Heru menegaskan. Foto juga harus diimbangi dengan proses pengarsipan. Hal ini untuk memberikan kemudahan apabila foto tersebut akan diakses kembali nanti pada masa mendatang.

Banyaknya jumlah foto yang terkumpul perlu dipilah-pilah dan ditentukan dengan kriteria penilaian. Ada dua aspek yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu nilai faktual dan nilai misi. Artinya, foto tidak dibuat-dibuat dan mampu mencakup misi kemanusiaan yang memberikan pencerahan kepada publik. (*)

 Wartawan: Ahimsa W. Swadeshi
Editor: Heru Prasetya

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow