PP Muhammadiyah Melalui LHKP dan MHH Sikapi Konflik Rempang: Pemerintah Gagal Laksanakan Mandat Konstitusi
JAKARTA-Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) menyatakan sikap atas konflik yang terjadi di Kawasan Rempang, Batam, Kepulauan Riau. PP Muhammadiyah mengecam kebijakan publik pemerintah untuk menggusur masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau demi kepentingan industri swasta.
Hal ini disampaikan melalui pernyataan pers yang ditandatangani oleh ketua LHKP Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA., Ketua MHH Dr. TRISNO RAHARJO, SH, M.Hum serta ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Hukum, HAM, dan Hikmah, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. pada Rabu (13/9)
Dalam rilisan tersebut, LHKP dan MHH menilai pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan bahkan terlihat brutal, pada 7 September 2023, sangat memalukan. Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan.
LHKP dan MHH menilai penggusuran di Pulau Rempang ini menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia. Negara yang seharusnya menjalankan mandat konstitusi dan Pasal dalam UUD 1945 dengan baik, justru berpaling dan lebih memihak pada kepentingan investor.
Padahal, tujuan dibentuknya negara dalam UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, dalam Pasal 33, menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Alih-alih melaksanakannya, melalui penggusuran paksa itu, negara justru mempertontonkan keberpihakan nyata kepada investor yang bernafsu menguasai Pulau Rempang untuk kepentingan bisnis mereka
Konflik Rempang sendiri bermula sejak 2001, saat Pemerintah Kota Batam datang ke Jakarta untuk mengajukan pengembangan Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam. Mereka mengundang pengusaha nasional dan investor dari Malaysia serta Singapura, dengan PT MEG (Grup Artha Graha milik Tommy Winata) dipilih untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun. Di tahun 2007 proyek ini diketahui masyarakat secara luas dan mendapatkan penolakan. Pada Juli 2023, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group dari Cina untuk investasi sebesar 11,5 Miliar USD dalam pembangunan pabrik kaca dan solar panel di Pulau Rempang, sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City. Meskipun proyek ini memiliki potensi besar untuk menarik investasi hingga Rp. 318 Triliun hingga 2080, rencana ini menyebabkan warga tergusur, termasuk permukiman warga asli dan 16 kampung tua yang telah ada sejak 1834.
Adapun, masih dalam rilisan yang sama, LHKP dan MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan berdiri bersama berbagai elemen gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang sudah turut bersolidaritas menyatakan sikap:
- Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai PSN sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden juga didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan memperparah kerusakan lingkungan.
- Mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk segera membebaskan sejumlah warga yang sedang ditahan serta menarik seluruh aparat bersenjata dari lokasi konflik.
- Mendesak Pemerintah segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati serta mengedepankan perspektif HAM, mendayagunakan dialog dengan cara-cara damai yang mengutakaman kelestarian lingkungan dan keadilan antar generasi.
- Mendesak DPR RI untuk mengevalusi beragam peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi karena akan menjadikan masyarakat sebagai korban dan melanggengkan krisis sosio-ekologis.
- Mendesak Kementrian PPN/Bappenas untuk menyusun rencana Pembangunan Jangka Panjang dan jangka menengah yang penuh dengan partisipasi bermakna, melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak serta memastikan prinsip keadilan antar generasi.
- Mendesak Kapolri dan Panglima TNI untuk segera memerintahkan penarikan pasukan dari lokasi yang menjadi milik masyarakat Pulau Rempang, mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam kekerasan yang terjadi pada tanggal 7 September 2023 di Pulau Rempang serta mencopot Kapolda kepulauan Riau, Kapolres Barelang, dan Komandan Pangkalan TNI AL Batam yang terbukti melakukan kekerasan pada masyarakat sipil.
- Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk bertanggungjawab melakukan pemulihan kepada perempuan dan anak-anak terdampak brutalitas aparat kepolisian, dan segala bentuk represi dan intimidasi oleh aparat pemerintah.
- Mendesak pemerintah agar segera menjamin dan memuliakan hak-hak masyarakat Pulau Rempang untuk hidup, mempertahankan kebudayaan dan tinggal di tanah yang selama ini mereka tempati, serta mengedepankan pendekatan Hak Asasi Manusia.
Berita ini diterima dari Siaran Pers Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow