Muhammadiyah Anggap Penting Keilmuan dan Inovasi Sebagai Bagian dari Kebudayaan

Muhammadiyah Anggap Penting Keilmuan dan Inovasi Sebagai Bagian dari Kebudayaan

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA - Beberapa pihak sering kali terjebak dalam pandangan konvensional yang hanya mengaitkan budaya dengan aspek visual seperti tarian dan pakaian. Namun, keilmuan dan inovasi juga merupakan bagian penting dari budaya itu sendiri. Begitu kata Ahmad Najib Burhani, Peneliti Ilmu Sosial, Budaya, dan Agama dalam menjelaskan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Najib menjelaskan pandangan Ahmad Dahlan, bahwa masyarakat cenderung mengikuti apa yang sudah dikenal dan diamalkan, baik itu karena ajaran guru, interaksi dengan teman, maupun pertimbangan individu. Tradisi yang telah berlangsung lama, terutama jika diwariskan dari generasi ke generasi, sering dianggap sebagai jaminan kebahagiaan. Namun, melanggar norma-norma tradisional tidaklah mudah. Inovasi memerlukan keberanian untuk menantang status quo.

Advertisement
Scroll To Continue with Content

Muhammadiyah, sejak awal berdirinya, telah mengusung semangat inovasi dalam berbagai bidang keilmuan. Ahmad Dahlan, dengan keberaniannya, berusaha melawan arus tradisi yang mengikat. Tidaklah mudah untuk melepaskan diri dari kebiasaan dan norma yang telah terakar begitu dalam dalam masyarakat setempat. Namun, Muhammadiyah tidak gentar dalam membuka jalan baru.

Melalui inovasi ilmiah, Muhammadiyah berusaha untuk meruntuhkan belenggu tradisi dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Dengan terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan beradaptasi dengan perubahan zaman, Muhammadiyah memperkuat budaya inovasi yang menjadi ciri khas gerakan Persyarikatan.

"Apa yang Ahmad Dahlan coba lakukan adalah untuk mematahkan adat kebiasaan masyarakat setempat. Berani untuk melangkah keluar dari kungkungan tradisi merupakan hal yang berat. Muhammadiyah sejak dulu telah melakukan inovasi dengan berbagai temuan ilmu pengetahuan," jelas Najib dalam Pengajian Ramadan 1445 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada Selasa (19/03).

Najib menyoroti perilaku masyarakat yang enggan menerima hal baru yang tidak sesuai dengan pengalaman mereka sebelumnya. Mereka mengaitkan keberadaan hal baru dengan risiko dan kesulitan, bahkan ketika fakta menunjukkan sebaliknya. Namun, pandangan ini hanya didasarkan pada penghormatan buta terhadap tradisi tanpa menggunakan akal sehat.

Kemudian Najib menegaskan bahwa perilaku semacam itu tidak dapat dianggap benar atau baik. Mengikuti tradisi semata sebagai pedoman hidup tanpa menggunakan akal untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk adalah tindakan yang tidak bijaksana. Tradisi dan adat tidak boleh dianggap sebagai satu-satunya penentu kebenaran atau kebaikan. Hanya hukum yang berasal dari hati yang suci yang dapat menjadi panduan yang sah untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.

"Hati suci itu artinya akal pikiran dari manusia. Saya kira pandangan Kiai Dahlan ini, meskipun mendapatkan penentangan dari masyarakat, menawarkan sesuatu yang baru, berbasis pada akal pikiran manusia," jelas Najib.

Terakhir, Najib menyatakan bahwa takhayul dan khurafat baru itu berbentuk pseudosains, hoaks, idolatri scopus, takhayul berwujud insularitas akademik. Musuh kontemporer, kata Najib, bukan lagi klenik, tapi normalisasi pelanggaran moralitas akademik, jurnal predator, dan lainnya.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow