Mohamad Ali: Kiai Dahlan Adalah Pemikir Pendidikan Muhammadiyah
YOGYA - Untuk melahirkan pemikir pendidikan yang mumpuni, khususnya di Muhammadiyah, harus dirancang dan direncanakan dengan baik by design.
"Bukan dengan cara dibiarkan tumbuh secara alamiah, laksana tanaman liar. Pun, bukan dengan cara dimuliakan begitu rupa seperti hewan piaraan," jelas Dr. Mohamad Ali, M.Pd dalam Sarasehan Pemikir Pendidikan Muhammadiyah, Kamis (11/1) di Amphitarium Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dahlan (UAD).
Dalam sarasehan ini, Ali menyampaikan makna pendidikan dimaknai secara luas, seluas dimensi kehidupan, yang memungkinkan proses belajar dan bereksperimentasi dapat berlangsung. Proses pendidikan atau belajar tidak dibatasi oleh tembok-tembok persekolahan maupun kampus yang secara normatif disebut pendidikan formal.
Lalu, mengapa dalam melahirkan pemikir pendidikan harus dirancang? "Dalam rangka membekalinya dengan seperangkat kompetensi yang diperlukan untuk menjadi calon-calon pemikir pendidikan," ujar Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta itu.
Setidaknya ada tiga bekal kompetensi utama. Pertama, menumbuhkan kesadaran adanya masalah kehidupan pendidikan yang harus segera ditemukan pemecahan. Kedua, mengenali pemikiran/idea-idea yang menonjol dan terkemuka. Ketiga, terlibat aktif-totalitas dalam menggumuli masalah dan memecahkannya.
Ali mencontohkan bagaimana pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan menjadi seorang pemikir pendidikan. Dengan bekalnya berupa kesadaran hadirnya masalah, memahami pemikiran yang menonjol, dan keterlibatan sepenuh hati dalam memecahkan masalah.
Saat itu masalah yang dihadapi Kiai Dahlan bermacam-macam, termasuk kemandegan pesantren dan konservatisme keagamaan, sehingga umat Islam tercecer dari arus kemajuan. Dari masalah itu, dia kemudian berangkat ke Mekah untuk kedua kalinya, lalu berkenalan dengan pemikiran Islam modernis seperti Jamaludin Al-Afghani dan Mohammad Abduh. Serta mengamati juga gagasan kemajuan kaum priyayi Jawa dan Belanda.
Hingga akhirnya, Kiai Dahlan memecahkan masalah dengan merintis Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang modern saat itu dan mendirikan organisasi Muhammadiyah.
"Proses kontekstualisasi, bukan sekadar membeo, pemikiran Islam modernis Abduh (menginspirasinya) untuk memecahkan masalah eksistensial yang dihadapi lingkungannya," imbuh Ali.
Setelah itu, kehadiran persyarikatan Muhammadiyah dapat dilihat sebagai upaya pelembagaan pemikiran tajdid Kiai Dahlan. Pada saat bersamaan juga bisa dilihat sebagai upaya beliau melahirkan pemikir-pemikir baru yang tumbuh dari kancah, baik yang bergumul di majelis, ortom, ataupun amal usaha yang ditekuni.
Hal itu ditunjukkan ketika pada tahun 1920, H.M. Hisyam dilantik Kiai Dahlan menjadi ketua bagian sekolah yang saat itu sudah memikirkan mendirikan Universitas. Demikian pula H.M. Syuja’ kala dilantik ketua bagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), langsung menggagas berdirinya Rumah Sakit.
Pola serupa juga terjadi saat merintis ortom-ortom dan menugaskan muridnya untuk memimpin. Kiai Dahlan memberi kepercayaan pada murid-muridnya menggumuli masalah-masalah aktual kehidupan sembari terus membimbingnya.
"Patut diingat bahwa mereka murid-murid Kiai Dahlan yang dinilai sudah cakap menghadapi dan mengatasi masalah kehidupan maka diterjunkan untuk memimpin bagian-bagian/majelis," tandas Ali. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow