Kawal Putusan MK, Dosen Fisipol UMY Minta Rakyat Cegah DPR Begal Demokrasi
YOGYA – Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. phil. Ridho Al Hamdi, M.A. meminta agar semua pihak untuk menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pilkada dan melawan segala upaya yang ingin membegal praktik demokrasi di Republik Indonesia.
Hal ini terkait keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang pada hari Rabu (21/8), telah menolak keputusan MK dan menyepakati bahwa perubahan syarat ambang batas di Pilkada Serentak 2024 hanya berlaku bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD atau non parlemen.
Sebelumnya, pada hari Selasa (20/8), MK melalui keputusan nomor 60/PUU-XXII/2024 telah telah mengabulkan gugatan terkait isi dari undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Dimana pada pasal 40 ayat (1) partai politik harus memiliki setidaknya 20% dari total kursi di DPRD pada pemilu legislatif atau memenuhi 25% akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD.
Dari hasil sidang MK tersebut, ambang batas yang sebelumnya minimal 20% kemudian berubah menjadi 7,5%. Hal ini memungkinkan partai non-parlemen atau yang perolehan kursinya di parlemen tidak banyak untuk bisa mengusung calonnya. Selain ambang batas, MK juga menolak gugatan perubahan batas usia calon kepala daerah yang mengharuskan minimal berusia 30 tahun untuk bisa mendaftar, sehingga tidak membolehkan siapapun yang berusia di bawah usia minimal untuk maju di pilkada.
Keputusan MK ini tentunya disambut gembira untuk melindungi demokrasi di Indonesia. “Tentu kita harus mengapresiasi keputusan MK tersebut (terkait batas usia calon kepala daerah dan ambang batas parlemen-red). Artinya, yudikatif menjadi penyeimbang atas eksekutif dan legislatif. Konsep trias politica ini harus dijadikan check balances atau penyeimbang pemerintahan,” jelas Ridho kepada Mediamu, Rabu (21/8).
Menurutnya, MK sudah menjalankan fungsinya. Yaitu dengan mengabulkan atau menolak serta menjaga Undang-undang agar sesuai pada konstitusi yang berlaku, dalam hal ini mengembalikan semangat pilkada sesuai dengan konstitusi.
Putusan MK ini tentu adalah angin segar bagi demokrasi di Indonesia serta seharusnya bersifat final dan mengikat. Tetapi, di sisi lain, hal ini dianggap menghalangi kepentingan kelompok elit penguasa, sebab partai pesaing secara memungkinkan bisa mengusung calonnya sendiri tanpa harus berkoalisi.
“Tentu saja (putusan MK-red) memberi angin segar, tetapi ada pihak yang kebakaran jenggot,” lanjutnya.
Hal itu ditunjukkan dengan DPR langsung bereaksi menggelar Rapat membahas revisi UU Pilkada, sehari setelah keputusan MK dikeluarkan. Hasilnya adalah menganulir keputusan MK terkait ambang batas dan usia minimal pencalonan kepala daerah di pilkada, serta kembali kepada aturan yang lama.
Jelas hal ini dianggap sebagai pembegalan politik, legislatif ingin menggunakan kekuatannya untuk membatalkan keputusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat
“Ini merupakan pembegalan politik yang dilakukan politisi di Senayan yang seharusnya bersuara atas nama rakyat, bukannya penguasa. Ini menunjukkan akal sehat politisi di negeri ini makin rapuh. Maka, rakyat bersama media dan akademisi harus menghukum mereka,” tegas Ridho.
Ia melihat, suara-suara dari rakyat harus digelorakan untuk menjadi penyeimbang terhadap rezim yang makin brutal dan bisa membahayakan masa depan Republik kita. Karena perilaku penguasa sudah jauh dari konstitusi serta gambaran pemimpin yang seharusnya bisa memberikan contoh kepada rakyatnya.
“Inilah yang dikritik dan dilawan! Tindakan mereka yang ingin menganulir keputusan MK ini harus dicegah, disuarakan, dan dilawan, agar supaya penguasa tidak bisa berbuat sewenang-wenang,” seru Ridho.
Terlebih, upaya untuk menganulir keputusan MK mencerminkan bahwa etika dari elit politik di negeri ini sudah sangat meresahkan dan menimbulkan kekecewaan karena tidak menunjukkan sikap patriotik.
“Kalau memang benar dan menang, maka bertarunglah secara sportif. Siapapun yang akan maju, bertarung, harus diapresiasi, bukannya dibegal dan dihalangi untuk berkompetisi. Sehingga demokrasi dibajak oleh orang yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Untuk itu, perlawanan rakyat harus dikonsolidasikan agar supaya bisa kuat dan mematahkan keinginan mereka yang secara mendadak merevisi UU Pilkada dan mengamputasi keputusan MK. Publik harus bersuara sebagai kontrol terhadap legislatif yang sewenang-wenang.
Termasuk juga dari warga Muhammadiyah harus ikut aktif menyuarakan kebenaran dan berani mengoreksi hal-hal yang salah di negeri ini. Warga Muhammadiyah juga harus terus didorong supaya mereka sadar dan paham bahwa demokrasi ini bukan soal kekuasaan, uang, atau jabatan.
“Ini soal nafas masa depan Indonesia, dimana ada yang ingin dimiliki elit-elit yang mau berkuasa sendiri tanpa adanya kompetisi karena mau membegal lawannya. Perilaku jahat ini harus dicegah dan di-stop sesegera mungkin,” pungkasnya. (*)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow