Dicari Tokoh Bangsa untuk Merawat Keindonesiaan!
YOGYA – Indonesia saat ini mengalami krisis keteladanan tokoh, seperti K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama). Walaupun dua organisasi ini mempunyai corak dan metode berbeda, tapi memiliki semangat sama yaitu merawat akal sehat dan keindonesiaan.
Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam Webinar Keindonesiaan yang diadakan PW IPM DIY, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sleman, dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) UGM, Sabtu (28/8).
Webinar dengan tema “Belajar dari Guru Bangsa K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari” itu menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. phil. Ridho Al Hamdi, MA. (Dosen Ilmu Pemerintahan UMY) dan Ahmad Anfasul Marom (Wakil Ketua Lakpesdam PWNU DIY), serta dimoderatori Latifah Dewi (Sekretaris PW IPM DIY Bidang KDI).
Diawali dengan membahas sudut pandang Muhammadiyah, Ridho Al Hamdi menjelaskan bahwa latar belakang berdirinya Muhammadiyah dipengaruhi pemikiran para pembaharu Islam di Timur Tengah, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada akhir abad ke-19. Juga dilatarbelakangi kondisi Indonesia yang terbelakang (kebodohan, kemiskinan) akibat penjajahan dan faktor kristenisasi di tengah masyarakat.
“Dari situlah, Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah berkeinginan supaya anak-anak pada masa itu pintar, cerdas dan sehat. Dengan begitu, kebodohan dan kemiskinan tidak akan terjadi,” jelas Ridho.
Antara Kiai Ahmad Dahlan dengan M. Abduh mempunyai kesamaan pemikiran, yaitu tidak terjebak pada gerakan politik, tapi fokus pada isu dan gerakan pendidikan. Dengan pendidikan, diharapkan mampu memberi solusi dan itulah yang membuat Muhammadiyah mengajak anak-anak sekolah tanpa memandang agama.
Setelah era Kiai Dahlan, estafet perjuangan diteruskan para kadernya, seperti K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya. Muhammadiyah dalam merawat keindonesiaan tidak hanya secara organisasi, tetapi juga pribadi melalui kader-kadernya.
Seiring berjalannya waktu, Muhammadiyah tetap merawat keindonesiaan dalam bidang apapun, termasuk pendidikan. Salah satu contoh, Universitas Muhammadiyah Kupang di mana 70% mahasiswanya adalah nonmuslim. “Ini menjadi bukti bahwa gerakan Muhammadiyah tidak memandang latar belakang apapun,” tegas Ridho.
Sedangkan Ahmad Anfasul Marom atau akrab disapa Aan Marom mengungkap sosok K.H. Hasyim Asy’ari sebagai ulama idealis dan berpengetahuan luas. Setelah menyerap ilmu, mengajar dan berteman dengan para tokoh di Indonesia dan Makkah, beliau mendirikan Pesantren Tebu Ireng di Jombang tahun 1899. Kalau itu ia berusia sekitar 26 tahun.
Aan Marom juga mengatakan kalau Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari merupakan simbol kekuatan tradisi, antikolonial, mandiri, tidak kaku, dan sangat visioner melihat Indonesia. Dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, memutuskan bahwa Indonesia adalah Darus Salam (nation state) bukan Darul Islam. Putusan tersebut berdasarkan kitab klasik Bughyatul Mustarsyidin, jauh sebelum perdebatan BPUPKI atau PPKI pada tahun 1945.
”Ini menunjukkan NU bukan hanya organisasi agama, tetapi sangat berkomitmen memikirkan Indonesia sejak dulu serta menjaganya supaya tetap adem, damai, dan toleran,” tutur Aan Marom.
Dari perjuangan kedua tokoh bangsa tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama dan nasionalisme sejatinya adalah satu dan tidak ada pertentangan di antara keduanya. Pemuda Indonesia dapat mengambil hikmah dari perbedaan yang ada dan bersemangat untuk bersinergi meskipun berbeda latar belakang, serta bersemangat mengembangkan diri untuk kemajuan Indonesia. (*)
Wartawan: Dzikril Firmansyah Atha Ridhai
Editor: Affan Safani Adham
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow