Prof Suyanto: Dulu Kartu Lebaran Sekarang Cukup WA
YOGYAKARTA — Masih ingatkah waktu dulu, saat mendekati Lebaran seperti sekarang ini kartu lebaran “berseliweran” terkirim kesana kemari? Bisa saja di antara kita termasuk pengirim kartu tersebut. Coba bandingkan dengan sekarang? Sepi. Kartu lebaran tak lagi seperti dulu. Bahkan mungkin sebagian besar generasi muda tidak mengenal kartu lebaran.
Ingatkah juga ketika surat menyurat secara konvensional masih ramai? Dari satu kota mengabarkan keadaan keluarganya kemudian dikirim ke kota lain. Setelah menunggu cukup lama (berhari-hari) baru datang surat balasan. Itu terjadi silih terjadi. Untuk ukuran sekarang rasanya jeda waktu itu sangat mengasyikkan, namun memerlukan kesabaran tinggi.
Dua contoh tadi termasuk yang disampaikan Prof. Suyanto, Ph.D., dalam Pengajian Ramadhan 1442 H Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY hari ke-3, Sabtu 24 April 2021. Prof Suyanto menyampaikan tema “Kompetensi Pendidikan Anak-anak di Era Pandemi”. Pemateri sebelumnya adalah Rita Pranawati, M.A., Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) RI dengan tema “Mendidik Anak di Abad 21”.
“Kalau sekarang cukup pakai WA, dalam sekejap sampai,” katanya.
Perubahan demi perubahan terjadi sangat cepat, apalagi dalam satu dasawarsa terakhir. Contoh lain adalah penggantian tenaga kerja manusia dengan komputerisasi. Digantinya teller bank dengan sistem e-banking dan mesin ATM, serta digantinya tenaga manusia penjaga pintu tol dengan e-money.
“Semua memang sudah berubah. Nantinya 86 persen anak SD sekarang akan menghadapi jenis pekerjaan baru. Oleh karena itu mereka harus diberi kompetensi yang adaptif agar bisa menyesuaikan diri,” jelas Suyanto.
Sifat dunia sekarang ini, menurutnya, bekerja harus fleksibel. Tidak harus ke kantor berseragam rapi, karena secara online kantor bisa ada dimana-mana. Sekolah-sekolah Muhammadiyah harus mempersiapkan ini dengan lebih baik karena memiliki basis-basis yang diajarkan sejak TK sampai perguruan tinggi.
Senada dengan Prof Suyanto, menurut Rita Pranawati, terjadi perubahan secara drastis dalam hal kebiasaan di masyarakat pada masa pandemi. Waktu keluarga sebagian besar berada di rumah, sehingga rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tapi juga kantor, sekolah, tempat melakukan lobby, dan lain-lain.
“Semua mengalami shock culture. Dampaknya sangat dahsyat,” ungkapnya.
Aktivitas pembelajaran dari PAUD sampai perguruan tinggi dilakukan secara daring. Sehingga mau tidak mau anak harus mampu mengoperasikan gawai. Pada saat seperti ini justru muncul kekerasan kepada anak secara online. Setelah pendekatan tertentu melalui gawai, anak kemudian disuruh melakukan perbuatan yang tidak benar.
Kekerasan seperti itu bisa muncul karena anak tidak diberi bekal yang cukup tentang gawai. “Jika anak belajar naik sepeda saja diberi pesan macam-macam oleh orangtuanya agar tidak jatuh. Nah untuk handphone, orangtua membelikan tanpa memberi pesan-pesan pemakaian,” ungkap Rita Pranawati.
Sebelum membelikan handphone sebaiknya ada petunjuk pemakaian agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi gawai. Misalnya, hanya boleh untuk hal-hal tertentu dan tidak boleh untuk hal lain, harus stop HP ketika bersama keluarga atau ketika di kamar mandi. Kesepakatan pemakaian seperti ini penting disampaikan sejak awal.
Pada bagian lain ia mengatakan bahwa anak harus dijadikan sebagai teman bukan musuh. Munculnya keluhan orangtua yang menyebut anak remajanya tidak bisa diajak ngobrol justru menunjukkan bahwa komunikasi antara orangtua dengan anak tidak berjalan sehat.
“Untuk mengatasi hal itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah harusnya memiliki kelas parenting,” katanya. (hr)
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow