ads
Eco-Sociopreneur Academy (ESA), Mencetak Wirausahawan Muda untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Eco-Sociopreneur Academy (ESA), Mencetak Wirausahawan Muda untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Smallest Font
Largest Font

BANDUNG  – Tren menjadi sociopreneur atau pelaku usaha sosial semakin berkembang pesat di Indonesia. Menurut British Council, dalam lima tahun terakhir, kegiatan sociopreneur di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 70 persen. Sebanyak 67 persen dari 1.388 organisasi dan unit usaha sosial yang disurvei dipimpin oleh generasi milenial dan Z. Sektor ini berkontribusi sebesar 1,91 persen terhadap PDB Indonesia, setara dengan 19,4 Miliar Rupiah, dengan industri kreatif menjadi sektor terbesar.

Namun, di tengah perkembangan ini, permasalahan lingkungan seperti perubahan iklim, polusi, dan kerusakan ekosistem menjadi isu global yang mendesak. Dalam konteks ini, peran sociopreneur sangat relevan, terutama dalam menginspirasi tindakan nyata untuk menjaga lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melahirkan eco-sociopreneur, yaitu pelaku ekonomi yang bertanggung jawab secara sosial dan ekologis, terutama di kalangan kaum muda.

Advertisement
ads
Scroll To Continue with Content

Eco-Sociopreneur Academy (ESA) hadir untuk menjawab tantangan ini. Program ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan secara sosial dan ekologis melalui perusahaan yang berlandaskan prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Dalam jangka panjang, ESA berkomitmen untuk memberdayakan kaum muda menjadi pelaku ekonomi yang bertanggung jawab secara sosial dan ekologis.

Ketua Yayasan Islam Cinta Indonesia atau Gerakan Islam Cinta (GIC) Eddy Aqdhiwijaya selaku koordinator pelaksana kegiatan Eco-Sociopreneur Academy (ESA) menyebutkan bahwa ESA merupakan hasil kerjasama Eco Bhinneka Muhammadiyah, Gerakan Islam Cinta, Peace Generation, dan Daekin University & Lancaster University Indonesia. “Kerjasama ini bertujuan untuk memberikan dampak yang lebih besar dalam pengembangan kewirausahaan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab sosial di kalangan anak muda,” ujarnya. ESA diikuti oleh 100 pemuda di kota Bandung yang memiliki minat dalam pengembangan diri, kewirausahaan, dan pembangunan sosial yang ramah lingkungan. 

Proses Seleksi, Workshop, Coaching, dan Mentoring

Eco-Sociopreneur Academy (ESA) terbuka untuk anak muda berusia 15-35 tahun, baik perempuan maupun laki-laki, yang aktif dalam kegiatan kewirausahaan dan sosial kemasyarakatan. Para peserta juga harus memiliki minat dalam pengembangan diri, kewirausahaan, dan pembangunan sosial yang ramah lingkungan, serta berkomitmen untuk mengikuti seluruh rangkaian program ESA, mulai dari pra-pelatihan hingga tahap pendampingan.

Pendaftaran untuk ESA dibuka mulai 10 hingga 18 Desember 2024. Setelah seleksi, peserta yang lolos berkesempatan mengikuti pra-workshop pada 20 Desember 2024 secara online, dan workshop utama pada 22 Desember 2024 yang akan dilaksanakan di Aula Kampus Daekin University & Lancaster University Indonesia, Bandung. Workshop ini menghadirkan para mentor yang akan mendampingi ESA, ada Irfan Amali, Hening Parlan, Jonathan Gultom, dan Arto Biantoro.

Irfan Amali, Founder Peace Generation Indonesia, menjelaskan pentingnya pengalaman dalam membentuk seseorang. "Yang mengubah seseorang adalah pengalaman. Itu yang dilakukan Peace Generation, yaitu teaching peace and experience peace. Belajarnya harus menyenangkan. Memulai dengan mengapa, dan kemudian bagaimana," ungkapnya. Pendekatan ESA, lanjut Irfan, menggunakan metode pembelajaran berbasis pengalaman, sehingga para peserta dapat belajar dengan cara yang menyenangkan dan penuh makna, sembari mengembangkan pemikiran kritis untuk menciptakan dampak positif di lingkungan mereka.

Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, juga menyampaikan pemikirannya tentang pentingnya menjaga lingkungan. "Sesungguhnya ilmu lingkungan bukan ilmu yang jauh, tapi ilmu yang dekat. Karena dari kita bangun, sampai tidur, itu dekat lingkungan,” ungkapnya. Menurut Hening, permasalahan kerusakan lingkungan semakin besar karena keserakahan manusia. Maka pencegahan kerusakan lingkungan harus dikembalikan ke hati, kepada nilai-nilai keyakinan. “Agama atau keyakinan harus bicara dan mensyiarkan pentingnya pencegahan krisis iklim, pentingnya merawat hubungan antara manusia dengan alam. Kalau hubungan manusia dengan alam ini rusak, maka hubungan manusia dengan Tuhan tidak akan baik,” ujarnya. “Maka tugas seorang entrepreneurship bukan untuk kaya raya, melainkan menghilangkan ego kita untuk membantu alam dan sesama. Itu bagian dari Jihad Al Maun,” imbuhnya.

Sianne Sari, Director of Student Recruitment Daekin University & Lancaster University Indonesia, juga menekankan dampak sosial dan ekologis dari kewirausahaan yang menangani tantangan lingkungan. "Dampak sosial dan ekologi dari kewirausahaan yang menangani tantangan lingkungan sangat besar. Solusi hijau untuk perubahan iklim, pengurangan sampah, dan konservasi sumber daya menjadi sangat relevan,” katanya. “Kita juga bisa menginspirasi ekonomi yang lebih hijau dengan mendorong ekonomi sirkular dan konsumsi yang bertanggung jawab," lanjutnya.

Jonathan Gultom, praktisi program entrepreneur, juga menambahkan pandangannya tentang pentingnya tujuan utama bisnis. "Tugas utama bisnis adalah menyelesaikan masalah customer. Tugas bisnis bukan mencari profit. Mencari profit adalah dampak dari customer yang happy. You will be happy in your customer happiness," ujarnya. "Begitu juga dengan socioentrepreneurship, kalau customer nggak happy, nggak akan sustain,” imbuhnya. Menurut Pak Jo, sapaan akrabnya, memetakan segment tepat menjadi hal yang wajib. “Segmen itu seperti pasir, maka buatlah segmenmu. Genggam pasir yang pas dengan kamu sehingga ketika diguncang-guncang, nggak akan lepas," tambah Pak Jo. Pak Jo menekankan pentingnya fokus pada pemecahan masalah pelanggan dan memahami segmen pasar yang tepat untuk memastikan keberlanjutan bisnis.

Arto Biantoro, praktisi brand, menambahkan pentingnya pendekatan holistik dalam membangun brand yang kuat. "Brand yang bagus harus melibatkan kelima panca indera, nggak bisa hanya digital saja. Semua itu disebut touch point, semua hal yang kita lakukan membangun brand dengan kelima panca indera. Semua didesain oleh brand sebagai pembeda, dan pembeda ini harus membawa pesan yang akan kita sampaikan,” katanya. Menurut Arto, ide bisnis harus dimulai dari permasalahan di sekitar kita dan kita kembangkan secara konsisten. “Brand yang kuat dimulai dari komunitas yang kuat dan konsistensi menjadi kunci dalam menciptakan brand yang berdampak,” imbuhnya.

Kesan Pesan Peserta

Kiblat, seorang peserta kelas IX SMP dari Pesantren Welas Asih, mengaku senang berkesempatan mengikuti sesi workshop. "Materi yang disampaikan mentornya luar biasa. Kita memilah info dengan baik, mana yang hoax dan tidak. Lalu tentang target spesifik untuk pasar juga menarik. Bagi saya sendiri, yang masih berusia 15 tahun, mendapatkan materi dan pengalaman yang luar biasa. Semoga kegiatan ini lebih berkembang dan bermanfaat untuk banyak orang,” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Aisyah, salah seorang peserta lainnya dari Ina Speak Up. "Pemuda adalah pembangun peradaban, di sini kita belajar gimana kita settle dan berdampak. Dengan adanya relasi pada forum ini, semoga kita bisa punya kontribusi kepada masyarakat kita. Ilmu ini mahal, dan mungkin nggak saya dapetin di tempat lain. Ini adalah hadiah terbaik bagi saya di akhir tahun ini," ungkapnya.

Setelah mengikuti workshop, 20 orang peserta yang terpilih akan mendapatkan pendampingan melalui sesi coaching dan mentoring. Sesi coaching dimulai pada 11 Januari 2025 dengan tema Peace Partnership, Lingkungan Hidup, dan Social Entrepreneurship, dilanjutkan dengan sesi Business Plan, Merancang Produk dan Layanan pada 14 Januari 2025, dan diakhiri dengan sesi Branding & Marketing pada 18 Januari 2025.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow